Kamu pernah nggak, ditanya soal isi buku yang pernah kamu baca, lalu kamu mendadak blank? Padahal kamu sudah menghabiskan ratusan halaman, tapi ketika ditanya tentang bab tertentu, kamu cuma bisa senyum kaku.
Lalu muncul perasaan bersalah, seolah-olah membaca buku itu sia-sia karena kamu nggak bisa mengingat semua detail dari buku yang sudah kamu baca.
Tenang, hal itu wajar kok, tidak harus 100% isi dari buku yang telah kamu baca harus kamu ketahui. Meskipun cuma beberapa persen yang kamu ingat, bukan berarti aktivitas membacamu menjadi sebuah kegiatan yang sia-sia.
Fenomena ini cukup sering terjadi, dan ironisnya, berasal dari stereotip yang tidak adil. Seolah-olah orang yang suka membaca buku itu wajib tahu semuanya.
Stereotip terhadap pembaca buku juga tak jarang seorang pembaca buku itu seolah-olah dianggap sebagai ensiklopedia berjalan. Harus tahu semuanya, kalau tidak tahu dianggap aktivitas membacanya adalah hal yang sia-sia.
Kalau kamu mengaku sudah baca buku A, maka kamu juga harus bisa menjelaskan tokoh utama, konflik cerita, sampai momen-momen pentingnya dengan lengkap. Kalau enggak, dianggap “nggak sungguh-sungguh baca.”
Padahal, itu hal itu adalah sebuah pandangan yang terlalu kaku. Karena sejatinya aktivitas membaca bukanlah ujian hafalan. Kita bukan sedang menyiapkan diri untuk menjawab soal pilihan ganda.
Membaca adalah proses menikmati, menyerap, merefleksikan, dan terkadang hanya sekadar merasakan. Tidak semua informasi dari sebuah buku harus tinggal dalam kepala kita secara utuh.
Kadang, cukup ada satu kutipan, satu perasaan, atau satu sudut pandang baru yang membekas dan mengubah cara pandang kita terhadap dunia, dan itu sudah lebih dari cukup.
Membaca juga soal proses membangun kebiasaan dan kenyamanan. Tidak semua orang langsung bisa mencerna buku berat atau akademik. Ada yang baru mulai membaca setelah bertahun-tahun tak menyentuh buku.
Ada yang memilih novel ringan, komik, atau buku populer sebagai pintu masuk. Dan itu sah-sah saja. Jangan biarkan tekanan untuk “tahu segalanya” merampas kebebasan membaca.
Bahkan satu kalimat bermakna bisa mengubah hidup seseorang. Jadi, tak perlu khawatir jika ingatanmu tidak sempurna. Buku yang baik tidak selalu dikenang dengan kepala, kadang ia menetap di hati, membentuk sikap, dan menumbuhkan empati.
Ekspektasi berlebihan ini juga membuat banyak orang merasa minder untuk mengaku sebagai pembaca. Mereka takut dicap sok tahu, takut dianggap palsu, hanya karena tidak bisa mengingat semua isi buku.
Padahal, membaca adalah proses personal. Setiap orang punya cara sendiri dalam menyerap informasi. Ada yang kuat di memori, ada yang lebih kuat di pemaknaan.
Lebih dari itu, kita juga harus melawan anggapan bahwa kutu buku itu harus tahu segalanya. Bahwa kalau kamu suka baca, maka kamu harus bisa berdiskusi tentang sejarah dunia, filsafat klasik, teori ekonomi, dan novel populer secara bersamaan.
Ini beban yang tidak perlu kita pikirkan lebih dalam. Kita membaca bukan untuk memenuhi ekspektasi orang, melainkan kita membaca untuk memperkaya diri kita sendiri.
Yang terpenting adalah kita bukan harus tahu seluruh isi buku yang telah kita baca, tapi juga kita berusaha memahami apa yang telah kita baca.
Jadi, jika kamu lupa isi buku yang pernah kamu baca, jangan khawatir. Kalau kamu cuma ingat satu bab atau satu perasaan dari cerita itu, tidak apa-apa.
Hal yang perlu kita tekankan pada diri sendiri ketika membaca adalah, yang sia-sia bukanlah membaca lalu lupa, tapi justru tidak membaca sama sekali karena takut lupa.
Karena pada akhirnya, seperti air yang mengalir, bacaan yang kita lahap akan tetap memberi bekas, meski tak terlihat, ia mengisi ruang-ruang dalam diri kita secara perlahan. Bacalah karena kamu ingin, bukan karena kamu harus menjadi ensiklopedia berjalan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Pink dan Hijau: Simbol Keberanian, Solidaritas, dan Empati Rakyat Indonesia
-
Jaga Jempolmu: Jejak Digital, Rekam Jejak Permanen yang Tak Pernah Hilang
-
Membaca untuk Melawan: Saat Buku Jadi Senjata
-
Diaspora Tantang DPR, Sahroni Tolak Debat: Uang Tak Bisa Beli Keberanian?
-
Keadilan bagi Affan: Ketika Kendaraan Negara Merenggut Nyawa Pencari Nafkah
Artikel Terkait
-
Ulasan Buku Move It, Mencintai Diri Sendiri dengan Menjaga Pola Hidup Sehat
-
5 Rekomendasi Buku dari Lima Negara Berbeda, Jalan-jalan Lewat Bacaan!
-
Ulasan Novel I Will Blossom Anyway: Antara Keluarga dan Kebebasan Diri
-
Cerita Tentang Kutukan Keluarga dan Sihir Tua di Novel a Pinch of Magic
-
Perluas Akses Pendidikan di Tangerang Selatan, Anak Mitra Driver Ojol Dapat 50 Ribu Buku
Kolom
-
Capres Private Account? Sekarang Bisa Scroll Bebas Lagi!
-
Kementerian Haji dan Umrah Jadi Solusi di Tengah Isu Birokrasi dan Politik?
-
Saat Podcast Jadi Pilihan Belajar, Apa yang Hilang dari Televisi?
-
Antara Guru dan Chatbot: Wajah Baru Pendidikan di Era AI
-
Influencer vs Aparat Negara: Siapa yang Lebih Berkuasa di Era Digital?
Terkini
-
Demo Ojol Geruduk DPR di Tengah Hujan: Ini Tuntutan Pedas Mereka!
-
Belum Juga Jera, AFC Kembali Bikin Ulah Jelang Bergulirnya Ronde Keempat Babak Kualifikasi
-
AFC Pilih Wasit Asal Kuwait untuk Ronde Keempat, Tim Mana yang Paling Diuntungkan?
-
Tinggalkan Citra Kanak-Kanak, Arsy Hermansyah Usung Musik Modern di Lagu 'Picnic'
-
Ajudan Presiden: Kepsek dan Satpam Kembali Bertugas di SMP 1 Prabumulih