Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Distribusi gas elpiji 3 kg (esdm.go.id)
Fauzah Hs

Setelah kemarin kita dibuat geram dengan kebijakan pemerintah yang melarang penjualan gas elpiji 3 kg di warung eceran, kini kita dihadapkan dengan berita bahwa tahun depan untuk membeli gas melon harus memakai… NIK.

Katanya, supaya subsidi tepat sasaran. Katanya, biar masyarakat miskin yang berhak saja yang bisa menikmatinya.

Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, sudah mengumumkan bahwa 2026 akan menjadi tahun perubahan. Ia menyebut masyarakat di desil 1 hingga 4—alias kelompok miskin—akan tetap dapat membeli elpiji 3 kg, sedangkan kelompok kaya di desil 8 sampai 10 diminta sadar diri untuk tidak menggunakannya.

Konsep terdengar jelas, ada klasifikasi dan batasan siapa boleh siapa tidak. Tapi apakah benar praktiknya sesederhana itu?

Kita tahu, masalah subsidi energi di Indonesia bukan cuma soal siapa yang beli, tapi juga soal distribusi yang amburadul, mafia yang bermain, hingga harga yang dikerek naik dengan alasan efisiensi.

Kalau kita lihat ke belakang, skema subsidi energi di Indonesia memang sudah lama jadi bahan tarik ulur. Dari BBM, listrik, hingga gas. Pemerintah berkali-kali berjanji subsidi harus lebih tepat sasaran, tapi kenyataannya justru subsidi dipersempit, syarat diperketat, harga naik, dan rakyat kecil lagi yang harus menanggung kesulitan tambahan.

Kebijakan pakai NIK ini terasa seperti menaruh beban administrasi di pundak masyarakat, seolah-olah masalahnya ada pada rakyat yang nakal membeli subsidi padahal mampu.

Padahal, bukankah tanggung jawab negara adalah memastikan distribusi dan pengawasan berjalan? Mafia gas bisa bermain di level agen hingga pangkalan, menimbun tabung untuk dijual mahal. Tapi apakah mereka yang akan dimintai KTP di pangkalan nanti? Rasanya tidak.

Menteri Bahlil juga mengimbau masyarakat kaya untuk menumbuhkan kesadaran agar tak memakai gas subsidi. Pertanyaannya, sejak kapan negara menggantungkan kebijakan energi pada kesadaran moral individu? Kalau benar bergantung pada kesadaran, berarti fungsi pengawasan negara dianggap selesai hanya dengan imbauan.

Sementara itu, wacana menggunakan NIK ini juga masih menyisakan masalah lain, yaitu data. Setiap kali kebijakan pemerintah berbasis NIK diluncurkan, kekhawatiran tentang kebocoran data pribadi selalu muncul.

Kita pernah melihat bagaimana data e-KTP, BPJS, bahkan nomor telepon bisa bocor. Dengan model pembelian elpiji pakai NIK, berarti data konsumsi energi masyarakat juga akan terekam. Lalu siapa yang menjamin itu tidak jadi komoditas baru bagi pihak-pihak tertentu?

Kebijakan ini seolah menempatkan rakyat miskin dalam posisi yang lebih rentan. Mereka harus membuktikan diri sebagai “benar-benar miskin” agar bisa tetap membeli gas yang terjangkau. Seakan-akan kemiskinan harus dilabeli dan diverifikasi ulang oleh negara.

Sementara kelompok kaya? Ya tinggal beli gas non-subsidi yang lebih mahal, tanpa banyak drama administratif. Lagi-lagi, kesenjangan sosial itu tampak jelas.

Kita mungkin masih ingat, saat harga elpiji 3 kg sempat melambung di beberapa daerah, banyak warung kecil memilih tutup sementara karena tak mampu membeli modal.

Bayangkan kalau nanti ada tambahan kerumitan birokrasi, ibu penjual gorengan harus antre di pangkalan, menunjukkan KTP, lalu dicek apakah NIK-nya berhak. Kalau ternyata ada kesalahan data? Ia pulang dengan tabung kosong.

Ada satu ironi besar di sini. Negara sibuk mengurusi siapa yang boleh beli gas melon, tapi dalam waktu yang sama tetap membuka pintu lebar untuk ekspor gas dalam jumlah besar ke luar negeri. Bukankah seharusnya prioritas utama adalah memastikan dapur rakyat bisa tetap ngebul, sebelum bicara soal komoditas global?

Kebijakan elpiji pakai NIK ini membuat kita tahu bagaimana negara melihat rakyatnya. Apakah rakyat dianggap mitra yang perlu dilindungi, atau justru beban yang harus diawasi ketat agar subsidi tidak salah alamat? Kita tahu jawabannya sekarang.