Banyak dari kalian yang mempercayai bahwa akan ada pelangi setelah hujan. Namun nyatanya tidak semua hujan setelahnya akan mendatangkan pelangi. Hanya hujan di teriknya matahari lah yang mampu melakukannya. Sangat berbeda dengan hujanku yang tak setitik pun matahari mau menyandarkan sinarnya pada awanku. Yang ada hanya gumpalan awan hitam, bentangan langit gelap serta kilatan zig zag penambah kengerian orang yang merasakan. Aku tidak yakin hujan yang seperti itu akan mendatangkan pelangi setelahnya.
Sama halnya seperti pelangi yang sangat berharga dan dinantikan kedatangannya setiap turun hujan. Aku pun juga pernah memiliki sebuah benda yang sama berharganya dengan pelangi. Sebongkah permata putih indah memancarkan kilauan pada setiap sudut limas segi limanya.
Permata yang selalu sabar kala permukaan kacanya ditempa terus menerus oleh palu-palu yang berusaha memecah belahnya. Permata yang selalu cantik walau berkali-kali lumpur hitam pekat berusaha mengotorinya. Permata yang selalu kuat mempertahankan wujud uniknya walau tekanan hampir meretakkan bentuk kristal di dalamnya.
Kadang manusia tak pernah mengerti akan sebuah filosofi hidup yang juga terpatri pada benda mati. Sesuka hati dan dengan lancarnya memberikan kesakitan kesekian kalinya. Memaksa sang permata untuk dijadikan sebagai alat tukar murahan. Membawanya pergi jauh untuk dijatuhkan dari atas tebing. Berharap permata itu akan hancur, berubah menjadi puing-puing butiran kecil hingga bisa dengan mudah diperjualbelikan serta mendapatkan keutungan yang menggiurkan.
Aku pernah memiliki permata itu sebelum alam merenggutnya kembali atas balasan dari perbuatan ini. Permataku memang tak mudah dihancurkan, namun alam berpikiran lain tentang memisahkanku dengan permataku. Memisahkan permata dari manusia yang tak mengerti hakikat hidupnya benda mati. Menyeluncur masuk pada kedinginan samudra. Memberikan samudra itu penerangan yang terpancar dari tubuhnya. Bersiap untuk mengalami kehancuran yang sesungguhnya saat mendarat pada palung terdalam.
Atas kandasnya sang permata, selalu diiringi oleh rasa sesal di pangkal hati. Aku pernah punya permata, namun permata itu kulepas dengan sangat mudahnya. Kini ia telah menemukan rumahnya yang abadi dan tentunya tanpa diriku. Manusia bodoh akan pengetahuan sisi hidup benda mati.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Imabsi Gelar Kelas Karya Batrasia ke-6, Bahas Repetisi dalam Puisi
-
Ulasan Novel Buku-Buku Loak, Bernostalgia Melalui Sastra Lama
-
Lestarikan Sastra, SMA Negeri 1 Purwakarta Gelar 10 Lomba Bulan Bahasa
-
Bongkar-Bongkaran Utang Sritex: 28 Bank Terjerat Jaring Utang Raksasa Tekstil
-
Puisi Menggema di FKIP Unila, Imabsi Gelar Kegiatan Sehari Berpuisi
Sastra
Terkini
-
Strategi Mengelola Waktu Bermain Gadget Anak sebagai Kunci Kesehatan Mental
-
Cetak 2 Gol, Bukti "Anak Emas" Tak Sekadar Julukan bagi Marselino Ferdinan
-
Nissa Sabyan dan Ayus Resmi Menikah Sejak Juli 2024, Mahar Emas 3 Gram dan Uang 200 Ribu
-
Ulasan Buku Sabar, Syukur, dan Ikhlas: Kunci Sukses Bahagia Dunia Akhirat
-
Spoiler! Hunter X Hunter Chapter 403: Balsamilco vs Pangeran Halkenburg