Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Wahid Kurniawan
Earthlings karya Sayaka Murata (@foylesbookshop)

Kegiatan membaca bagi sebagian orang dilakukan untuk mencari sesuatu yang menyenangkan. Makanya, ada anggapan bahwa membaca bisa membuat kita pergi ke banyak tempat tanpa perlu mengangkat kaki, atau mencicipi kesenangan tertentu tanpa benar-benar melakukannya atau mengunjunginya.

Membaca, dipahami pula, sebagai kegiatan pelarian dari segala rutinitas yang menyesakkan. Untuk tujuan ini, kita pun sering mendapat rekomendasi bacaan yang membuat kita merasakan kebahagiaan. Ya, dalam hal ini, kita memposisikan buku sebagai sesuatu yang bersifat menghibur. Atau dengan kata lain, sesuatu yang membuat kita merasa sedang mendapatkan hiburan. 

Untuk itu, perlu kita ketahui bahwa sebenarnya ada beberapa buku yang rasanya tidak cocok apabila kita menginginkan kesenangan dari proses pembacaannya. Buku-buku ini beragam, tetapi kita bisa mengambil contohnya dari salah satu novel karya Sayaka Murata, yaitu Earthlings. Novel ini merupakan karya kedua Murata yang diterbitkan ke bahasa Inggris setelah karya fenomenalnya itu, Convenience Store Woman (Grove Books, 2018). Berbeda dengan novel pertamanya yang cukup ramah, Earthlings (Grove Books, 2020) memiliki satu label yang tak bisa ditepis: Bacaan yang mengganggu.

Bercerita mengenai seorang perempuan bernama Natsuki yang memiliki masalah hubungan dengan orangtua dan aturan-aturan di masyarakat, Earthlings menjadi bacaan yang dipenuhi dengan parade adegan-adegan yang bisa mengganggu kenikmatan membaca para pembacanya. Sebut saja, terjadinya pelecehan seksual yang menimpa tokoh utama, hubungan badan si tokoh utama dengan sepupunya saat masih kecil, sampai ide untuk melakukan kanibalisme sampai perkosaan terhadap anggota keluarga. Apalagi, dua hal pertama itu digambarkan oleh Murata dengan sedemikian gamblang. Maka bisa saja, efek sakit kepala bisa dirasakan oleh pembaca saat menyimak novel ini.

Tentu, parade adegan mengganggu itu bukannya tidak berfungsi atau sekadar tempelan saja. Sebab, kalau kita telisik lebih jauh, adegan-adegan itu memiliki fungsi untuk memperkuat jalinan kisah dalam novel ini. Adapun terkait kisahnya sendiri, novel ini mengisahkan kehidupan Natsuki sedari kecil sampai dewasa. Pada bab-bab awal, kita akan mendapati gambaran hidup Natsuki yang tersisihkan dalam keluarganya. Penyisihan itu diakibatkan lantaran orangtuanya tampak lebih menyayangi kakak Natsuki ketimbang dirinya.

Bahkan, dalam salah satu narasi, Natsuki mengaku kalau perannya dalam keluarganya tidak lebih seperti kotak sampah: tempat untuk membuang segala macam hal, dari luapan emosi, amarah, sampai rasa kesal. Lantaran hal itu, Natsuki tumbuh menjadi anak yang tak biasa. Ia memiliki boneka beruang kecil yang bernama Piyyut dan saat bertemu dengan sepupunya, ia menceritakan bahwa boneka itu adalah utusan dari planet Popinpobopia yang dikirim ke bumi untuk menumpas krisis dalam kehidupan manusia. 

Apakah cerita itu hanyalah khayalan semata? Kita bisa memperdebatkan hal itu. Barangkali, itu hanya buah imajinasi kanak-kanak dari tokoh Natsuki itu. Namun, kelak dalam babakan ketika ia sudah dewasa, kisah tentang boneka dan planet itu menjadi hal penting yang menghubungkan kembali dengan sepupunya yang sempat terpisah komunikasi selama beberapa tahun. Ya, novel ini memang dibagi menjadi dua fase usia, yaitu kala Natsuki masih kecil hingga memasuki masa SMP, dan fase saat ia sudah dewasa di usia 30 tahunan. Dari dua fase tersebut, lantas novel ini pun menebarkan hal-hal mengganggu tadi.

Beberapa bisa didapati pembaca saat Natsuki masih kecil. Sementara sisanya didapati saat Natsuki sudah dewasa. Ha-hal mengganggu itu erat kaitannya dengan keabsurdan dan kegilaan, sesuatu yang kadang sulit dicerna oleh nalar pembaca. Apa yang ditunjukkan oleh para karakternya (tidak saja Natsuki) dan apa yang mereka pikirkan atas sesuatu hal kerap mengisyaratkan hal yang sulit diterima oleh akal sehat. Oleh sebab itu, selain dipadati dengan hal-hal yang mengganggu, novel ini juga membuat pembaca berpikir atas interpretasi tertentu dari adegan-adegan yang ada. Tentu, sama seperti karya Murata Sayaka yang lain, novel yang edisi bahasa Inggris-nya diterjemahkan oleh Ginny Tapley Takemori ini, berhubungan dengan isu-isu di masyarakat.

Bahkan, ada salah satu babakan ketika Natsuki dan tokoh-tokoh lainnya menginginkan dan hendak membentuk dunia dengan tatanan yang baru. Mereka ingin menghilangkan batasan atau standar-standar tertentu yang ada di dalam masyarakat. Dari mana datangnya pemikiran itu? Kita patut menduga, bahwa ada rasa ketidakterimaan yang dialami oleh para karakternya, membuat mereka menginginkan sesuatu yang membebaskan, yang tak membelenggu, yang tak menekan mereka dengan sejumlah standar kenormalan tertentu. Ya, semua ini tentang masyarakat dengan segala standar dan norma yang mereka ciptakan. Dan, novel ini dibuat dengan memuat sejumlah kritik dari penulis terhadap hal-hal tersebut. 

Oleh sebab itu, kalau kita menginginkan bacaan yang menyenangkan untuk mengisi waktu di akhir pekan, rasanya novel ini bukan pilihan yang tepat. Alih-alih membuat kita senang, jaminan akan membuat kita terganggu justru menjadi hal yang paling mungkin kita dapat. Namun, kalau pun kita terlalu penasaran dengan isinya, dan mau menyabarkan diri menghadapi sekian hal tadi, juga mau merelakan pikiran kita diajak mencerna segenap isu masyarakat dan memikirkannya, maka jelas, novel ini layak untuk dibaca. 

Wahid Kurniawan