Akhir-akhir ini, kata hijrah sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia. Rasa-rasanya, banyak orang berbondong-bondong mereduksi kata hijrah sebagai peralihan dari dunia gelap menuju terang benderang.
Salah satu ciri yang paling tampak dalam penilaian manusia, misalnya, ia yang semula tidak berkerudung menjadi berkerudung. Tentu tak ada yang salah. Namun, hijrah tidak sebatas aspek fiqh saja.
Setidaknya, di dalam buku yang berjudul Tuhan Ada di Hatimu Ini, Habib Husein menegaskan bahwa hijrah mestinya meliputi berbagai aspek keIslaman. Menurut beliau, ada empat aspek yang harus dilakukan seseorang ketika berkomitmen untuk hijrah. Yaitu aspek sufistik, kultural, filosofis dan sosial.
Aspek sufistik-tasawuf, misalnya. Habib Husein menjelaskan bahwa hakikat hijrah adalah pergerakan seorang hamba menuju Allah. Pergerakan bersifat spiritualis inilah yang menjadi pondasi utama seseorang ketika hendak hijrah. Caranya adalah dengan takhalli, yakni menghiasi hati dengan sifat-sifat terpuji.
Oleh karenanya, seseorang yang berkerudung hendaknya harus berangkat dari komitmen hati, bukan asal mengerudungi kepala agar dipandang religius atau tidak dipandang aneh-aneh oleh teman-teman atau keluarga. Sehingga tingkah lakunya pun ikut Islami, dan tidak merusak citra kerudung.
Pun begitu dengan lelaki. Jangan sampai pakaian dan tampilannya Islami, namun tak menjaga pandangan dan kemaluannya. Bahkan ia menyalahkan perempuan yang tak berkerudung atas syahwatnya yang tak terkontrol, padahal hatinya sendiri yang tak dijaga. Hal ini telah termaktub dalam surat An-Nur ayat 30.
Saya kira, buku 207 halaman ini benar-benar menampar kita akan fakta yang terjadi di masyarakat. Selama ini, kata hijrah sering disalahpahami bahkan sampai menumpahkan darah seperti yang dilakukan para teroris.
Kata hijrah seolah magnet untuk mencari Tuhan ke mana-mana. Bahkan sialnya, menjadi alat pengesahan untuk menyakiti dan mengkafirkan yang lain. Apabila orang lain tak sependapat dengan jalan hijrahnya, maka orang tersebut akan dicap kafir. Sebegitu murahnya kata kafir di negeri ini yang muncul dari mulut manusia yang sedang mencari Tuhannya.
Padahal menurut Habib Husein yang selalu menemani pemuda tersesat, Tuhan itu sebetulnya ada di hati manusia. Sejatinya, dengan menghadap ke arah manapun, kita bisa melihat kebesaran Allah.
Tuhan juga hadir dalam gubuk-gubuk orang miskin atau di dalam penjara. Ka’bah boleh saja sepi saat pandemi, tapi hati manusia yang beriman akan senantiasa taat padaNya.
Baca Juga
-
4 Zodiak yang Gampang Baper dan Cepat Menangis, Siapa Saja Mereka?
-
Kamu Susah Move On dari Mantan? Bisa Jadi Ini Alasannya
-
Benarkah Kesehatan Mental Bisa Terganggu Akibat Candu Media Sosial?
-
Cara Mengatasi Deadlock saat Menulis, Simak Tips Berikut Ini!
-
5 Tips agar Cerpenmu Dimuat di Koran dan Media Online
Artikel Terkait
Ulasan
-
Novel Peniru dan Pembunuhan Tanpa Jasad: Uji Moral dan Permainan Psikologis
-
Petualangan Dua Sahabat di Laut Papua Nugini dalam Buku The Shark Caller
-
Ulasan Novel di Balik Jendela: Rahasia Trauma yang Tersembunyi dalam Isolasi
-
Curug Pangeran, Di Balik Keindahan Alam Ada Sebuah Mitos yang Beredar
-
Review Film Io Capitano: Tiap Langkah yang Terluka Saat Mengadu Nasib
Terkini
-
Jennie BLACKPINK Tembus Daftar Album Terbaik Rolling Stone 2025
-
Daster Bukan Simbol Kemalasan: Membaca Ulang Makna Pakaian Perempuan
-
6 Drama China yang Dibintangi Pan Meiye, Beragam Peran
-
4 Ide OOTD Stylish ala Shin Soo Hyun untuk Gaya Nyaman Saat City Trip!
-
Tom Felton Perankan Draco Malfoy Lagi Lewat Harry Potter versi Broadway