Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sam Edy Yuswanto
Novel "Jenderal kambing" (Dokumen pribadi/Sam Edy)

Menurut saya, novel Jenderal kambing karya Khrisna Pabichara ini menarik, mulai ide, alur cerita, hingga sederet konflik yang dimunculkan. Penulis mampu membuat pembaca merasa penasaran untuk terus membaca kisahnya yang diwarnai ketegangan. Belum lagi filosofi hidup yang diselipkan penulis baik melalui dialog maupun narasi.

Novel ini menceritakan tentang pemuda bernama Ibrahim yang ditolak cintanya oleh Salma, gadis pujaannya. Sudah sejak lama ia memendam suka pada gadis yang satu sekolah dengannya itu. Tepatnya, sejak ia masih kelas satu SMA, hingga akhirnya ia kelas tiga. Cintanya pada Salma tetap, tak berubah, dan ia mencoba mengutarakannya. Sayangnya, ia ditolak mentah-mentah bahkan dengan kalimat kasar yang menyakitkan. 

Berikut ini kutipan saat Ibrahim menyatakan cinta dengan begitu polos, tapi diramu dengan bahasa yang sangat memikat oleh penulis:

“Ada yang ingin kukatakan kepadamu.”

Salma mendongak. Sembari meletakkan novel yang tengah dibacanya ke atas meja, ia berkata dengan tenang. Suaranya pelan, tetapi mengancam. “Katakanlah, aku tidak cukup banyak waktu untuk pembicaraan yang sia-sia!”

Beberapa jenak Ibrahim tertegun. Ia berusaha tersenyum untuk menyamarkan rasa gugupnya. “Aku mencintaimu.”

Berikut ini saya kutip cara penolakan Salma. Saya coba potong sebagian agar tidak terlalu kepanjangan:

Salma berdiri dan menatap Ibrahim dengan mata mencorong. “Sudah kubilang, aku tidak punya banyak waktu untuk pembicaraan yang sia-sia.” Ia menatap Ibrahim dari kepala hingga ke kaki, kemudian meneleng-nelengkan kepala. “Juragan kambing jatuh cinta kepadaku.” Ia kembali menatap Ibrahim dan menggeleng-geleng. 

“Kalau kambingmu sudah terjual, kamu bayar iuran sekolah dan sisihkan sedikit uangmu untuk membeli cermin. Tidak usah banyak. Satu saja. Lalu kamu berdiri di depan cermin, lihat siapa dirimu sebenarnya, dan pikirkan matang-matang apakah kamu layak berdiri di sampingku sebagai pendamping atau lebih pas di belakangku selaku jongos!”

Memang, Ibrahim termasuk keluarga yang kekurangan. Dan salah satu pekerjaan untuk meringankan hidupnya ialah dengan menggembala kambing. Ia tak menyangka Salma akan setega itu padanya, kalau memang tak mau menerima uluran cintanya, tak usah membawa-bawa “kambing”, hewan ternak yang selama ini sangat meringankan beban biaya pendidikannya (halaman 20).

Kisah Ibrahim yang ditolak cintanya masih panjang. Ia berusaha tak marah atas sikap Salma kepadanya. Ibu tirinya, yang begitu baik kepadanya, telah mengajarkan bagaimana cara ia bersikap terhadap gadis yang menolak cintanya. 

Dulu, ibu tirinya juga pernah menolak saat ayah Ibrahim menyatakan cinta padanya. Namun, pada akhirnya ibu luluh juga dan menerima ayah Ibrahim. Begini petikan dialog saat Ibrahim bertanya alasan ibu tirinya luluh dan menerima ayah sebagai suaminya:

“Kenapa hati Ibu bisa luluh?”

“Karena tak ada kebencian atau kemarahan di mata ayahmu meskipun berkali-kali Ibu tolak. Lelaki yang marah karena cintanya ditampik adalah lelaki yang tidak paham hakikat cinta. Lelaki seperti itu ‘mencintai dirinya sendiri’. Egois. Mau menang sendiri. Hanya perempuan lugu, kalau kata ‘dungu’ terlalu kasar, yang mau dicintai lelaki seperti itu.” 

Ibunya tersenyum lagi sambil menyeduh kopi dan menaruh gelas kopi di depan Ibrahim. “Kalau kamu marah karena ditolak, kamu termasuk lelaki tidak tahu diri.

Kisah Ibrahim yang terus berusaha memperjuangkan rasa cintanya meski telah ditolak dengan kasar oleh gadis pujaannya, menurut saya sangat menarik disimak. Tak hanya kisahnya yang layak disimak, tapi juga pesan-pesan filosofi yang begitu berharga yang diselipkan penulis dalam novel terbitan Exchange Publishing Your Idea (2017) ini. Selamat membaca.

Sam Edy Yuswanto