Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Thomas Utomo
Buku Fighting, Son Seng Nim! (Dokumentasi pribadi/Thomas Utomo)

Novel ini sampai ke tangan saya, saat semangat membaca saya sedang sangat tiarap. Kesibukan kerja, belakangan kerap saya jadikan alasan kenapa banyak buku baru menumpuk begitu saja di pojok kursi. Meski sesungguhnya, dulu pun, dengan kepadatan kerja sekolah yang lebih banyak, saya tetap giat membaca.

Entahlah.

Pertengahan pekan kemarin, saya mengambil Fighting, Son Seng Nim! di antara tumpukan buku baru. Saya sengaja memilihnya semata karena topiknya seputar kegiatan guru dan sekolah (saya lihat di blurb). 

Novel ini dibuka dengan konflik batin Fatima, guru Little Lolita; TK bertaraf internasional khusus untuk anak-anak Korea. Mulanya, Fatima bertugas di Jakarta. Telah lima tahun dia menjalankan tugasnya dengan amat baik.

Namun tiba-tiba, Won Jang Nim, kepala sekolah, memutasinya ke cabang baru Little Lolita di Tangerang.

Bagi Fatima, ini adalah pukulan telak baginya. Dia telah bekerja amat baik, kenapa dipindah? Dalam pikiran perempuan asal Sumatra Utara ini, dimutasi berarti ada masalah.

Nyatanya, Won Jang Nim memindahkan Fatima justru karena prestasi kerjanya. Fatima dianggap dapat merintis nama baik Little Lolita di Tangerang.

Fatima kecewa karena kepindahannya ke Tangerang, membuatnya terpisah dari sahabat kentalnya, sesama guru Little Lolita di Jakarta. Juga terpisah dari Angga, pacarnya.

Namun di Tangerang, ternyata keadaan tidak seburuk pikiran Fatima. Dia dapat lingkungan sekolah yang bagus, fasilitas memadai, teman kerja, baik warga asli Indonesia maupun warga asli Korea, yang baik, kolaboratif, serta supportif. 

Satu ganjalan besar adalah perkembangan hubungannya dengan Angga yang tak kunjung naik pelaminan. Sebabnya kedua muda mudi tersebut beda keyakinan. Fatima muslim, Angga Kristen Protestan. Orang tua Angga sendiri pemuka gereja di Sumatra Utara sana. Angga tidak dapat menyeberang ke agama Islam, jadi mualaf, seperti yang diyakinkannya kepada Fatima.

Masalah lain timbul berkaitan dengan kesehatan mama Fatima yang terus menurun. Tetapi sang mama terus berusaha menutupi kondisi parah dirinya agar tidak menyusahkan pikiran anak semata wayang.

Novel karya Nuraisah Hasibuan ini juga menggeber problematika broken home, dalam hal ini, dialami murid perempuan bernama Lee Soh Rim. 

Percikan perselisihan juga kerap mewarnai hubungan antarguru Little Lolita, lebih-lebih berasal dari Hong Ui Young, yang kerap otoriter dan berlagak sok jadi pemimpin TK. Nyatanya, keputusan sepihak yang kerap dia paksakan malah memicu disaster di TK dan kalangan orang tua.

Novel pemenang Kompetisi Menulis Novel Inspiratif Indiva Media Kreasi ini, cukup menarik disusuri. Tampak betul pengarang menguasi materi cerita yang dia bentangkan, wabil khusus mengenai budaya Korea dan lokalitas Sumatra Utara. Sebagaimana pengakuan pengarang sendiri di halaman akhir, sebagian besar isi novel berangkat dari pengalaman personal pengarang. Sebab itulah, secara konten, novel ini believable.

Dari segi pengaluran, Fighting, Son Seng Nim! tidak datar. Berkali-kali pembaca diajak menyusuri alur menanjak, berkelok, menikung. Jadi perjalanan menekuri lembar demi lembar novel setebal 392 ini tidak menjenuhkan. Sebaliknya, mengasyikkan dan merangsang rasa penasaran.

Sebagai 'bacaan pertama' di tengah landaan rasa malas membaca, Fighting, Son Seng Nim! kembali meneguhkan keyakinan pribadi betapa aktivitas membaca memang senikmat itu. Maka saya perlu mengurangi timbunan buku lain dengan cara membaca, lagi ... dan lagi ...

Thomas Utomo