Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Thomas Utomo
Rumah Tanpa Jendela (Dokumentasi pribadi/Thomas Utomo)

Setiap orang pasti punya mimpi. Tentu saja mimpi yang dimaksud di sini, bukan bunga tidur, melainkan harapan atau cita-cita.

Begitu juga dengan Rara. Gadis cilik periang yang sehari-hari menjadi pengamen ini, memiliki mimpi sederhana. Dia ingin punya jendela di dinding rumahnya. Tujuannya agar bisa menikmati hujan tanpa harus berhujan-hujanan di luar, juga melihat pasukan burung terbang, atau merasakan kilau keemasan sinar matahari dan cahaya bulan.

Bagi Bapak dan Ibu, mimpi Rara terdengar mustahil untuk diwujudkan. Sebab, rumah mereka yang berada dalam kawasan kumuh di kompleks kuburan Cina di Menteng Pulo, saling berimpitan dengan rumah reot lain. Tidak mungkin membuat jendela di sana.

Di sisi lain, ada Aldo, anak autis yang lahir dari keluarga kaya raya, namun diabaikan kehadirannya lantaran papa, mama, dan kakaknya selalu dikepung kesibukan. Kesibukan itu membuat mereka luput tahu kalau Aldo punya sejumlah kelebihan menonjol, di balik kekurangan yang ada.

Sebuah kecelakaan, kemudian menjadi penyebab terjalinnya persahabatan antara Rara dengan Aldo. Tetapi, kecelakaan berikut, masing-masing pada masa dan tempat yang berbeda, membuat mimpi Rara dan Aldo terasa meredup, walau keduanya tidak mau menyerah untuk mewujudkannya.

Bagi pembaca dewasa, novel ini dapat mengantarkan pada kesadaran mengenai pentingnya membuka jendela hati dan pikiran. Asma Nadia, sang pengarang, merajut kisah ciptaannya dengan bahasa yang halus lagi memikat.

Seperti tulisan-tulisan Asma Nadia lainnya, novel ini pun tidak berkesan menggurui, meski mengandung banyak kalimat mutiara yang menarik untuk disampaikan kepada ananda, seperti berikut ini.

“Sekali kamu percaya hantu itu ada, dia akan hidup terus di hatimu dan memakan keberanianmu,” (halaman 11).

“Anak-anak tak mampu itu harus memiliki impian, menjaganya baik-baik, dan tidak boleh membiarkan siapa pun mencuri mimpi mereka,” (halaman 28).

“Menyesal dan membiarkan perasaan bersalah memenuhi rongga dada tidak menyelesaikan apa-apa,” (halaman 156).

Bagi anak-anak, novel ini menjadi pilihan bacaan yang menyuguhkan tema berani mengubah nasib, tidak mudah menyerah, optimisme, semangat untuk maju, penuh gairah, penuh ide, dan sikap mandiri. Tidak percaya? Bacalah sendiri!

Thomas Utomo