Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sam Edy
Ilustrasi Buku ‘Menitip Mayat di Bali’ (Dokumen pribadi/Sam Edy)

Selama ini, banyak orang mengenal Bali sebagai suatu daerah yang memiliki banyak tempat wisata yang menarik dan eksotik. Tak heran bila Bali menjadi dambaan banyak orang, khususnya para wisatawan, untuk dikunjungi. 

Bisa dikatakan, Bali termasuk salah satu destinasi wisata yang bergengsi. Sebagian orang mungkin akan merasa bangga saat berhasil menapakkan kaki di sana. Bicara tentang Bali, kita perlu mengetahui lebih banyak tentang adat istiadat yang berlaku di sana, termasuk kondisi atau suasana di berbagai daerah, mulai zaman dulu hingga kini.

Buku kumpulan esai berjudul ‘Menitip Mayat di Bali’ karya Gde Aryantha Soethama ini bisa menjadi bahan belajar bagi kita semua, khususnya bagi warga luar Bali, untuk mengetahui adat-istiadat atau kebiasaan di sana. Termasuk kondisi zaman dulu dan kini yang telah mengalami perkembangan pesat di berbagai bidang.

Salah satu esai yang menarik yang bisa disimak dalam buku terbitan Kompas ini berjudul ‘Menitip Mayat di Bali’. Esai ini membicarakan tentang kebiasaan ‘titip menitip’ sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat Bali zaman dulu dan sekarang yang mengalami pergeseran atau perubahan. 

Jadi, sebelum toko swalayan merebak sampai ke pelosok kota, Bali masih mengenal hari pasaran saban tiga hari sekali yang di beberapa kabupaten jatuh pada hari pasah. Inilah hari saat untuk belanja ke kota. Para petani bergegas pulang lebih pagi dari sawah, mengenakan pakaian bagus, pergi ke kota. 

Ibu-ibu juga ke pasar di hari pasaran untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Di hari pasaran, pedagang menjual hasil bumi lebih banyak, harga bisa lebih murah, dan ada peluang memilih barang-barang kebutuhan lebih leluasa. Jika ibu-ibu itu berhalangan, mereka menitip pada tetangga yang pergi ke pasar. 

Kebiasaan titip-menitip yang menjadikan kekerabatan antartetangga dan interkeluarga terjalin sejuk ini tak bisa leluasa lagi kita saksikan sekarang. Pasar swalayan, warung, dan toko waralaba bertebaran di mana-mana.

Kebiasaan titip-menitip tersebut memang tak sepenuhnya lenyap. Boleh jadi karena titip-menitip sudah menjadi perilaku hidup dan adat-istiadat, orang Bali pun hingga kini masih suka menitip. Mereka tidak lagi beli garam atau sayur karena semua kebutuhan itu sudah dipenuhi pasar modern. Yang mereka titip kini adalah mayat.

Kebiasaan menitip mayat ini mengalami perkembangan, tak lagi semata di api atau di bumi. Menitip di api atau di pertiwi membawa makna simbol-simbol dan filosofi.

Kini orang Bali mengenal pengertian menitip mayat dalam arti sesungguhnya. Jika titip di api mayat berubah jadi abu, titip di bumi jadi tulang, kalau model titip yang satu lagi ini, mayat akan tetap mayat karena jenazah tersebut dititip di rumah sakit. 

Penyebab penitipan sama saja karena tidak ada hari baik. Tapi, penyebab yang paling sering karena seseorang meninggal bertepatan dengan upacara di tempat suci seperti di pura kahyangan tiga atau pura banjar.

Mayat dititip di rumah sakit mulai menjadi pilihan ketika Panca Wali Krama di Pura Besakih, tahun 2009. Upacara suci sepuluh tahun sekali ini berlangsung berminggu-minggu, sehingga berminggu pula Bali harus “bebas mayat”.

Jika ada orang meninggal harus dikubur selepas petang karena dilarang mengubur atau makingsan di pertiwi di tengah hari. Makingsan di geni juga ditiadakan karena dilarang membakar mayat. 

Tak ada pilihan lain, mayat pun dititip di rumah sakit, disimpan dalam almari pendingin. Setelah rangkaian upacara di Besakih usai, mayat itu diambil, dibawa pulang. Diupacarai, diaben.    

Selain esai ‘Menitip Mayat di Bali’, masih banyak esai-esai menarik karya Gde Aryantha Soethama lainnya yang akan memperkaya wawasan kita tentang Bali. Semoga ulasan ini bermanfaat.  

Sam Edy