Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Wahyu Astungkara
Ilustrasi menutup wajah (Pixabay/Anemone123)

Sunat perempuan, atau yang juga dikenal sebagai Mutilasi Genital Perempuan (FGM), adalah praktik pemotongan atau melukai alat kelamin perempuan secara parsial atau keseluruhan. Praktik ini telah lama menjadi “tradisi” di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.

Menurut UNICEF, terdapat sekitar 200 juta perempuan dan anak perempuan di dunia yang telah disunat. Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan prevalensi sunat perempuan tertinggi di dunia, dengan perkiraan jumlah perempuan yang disunat mencapai 4,8 juta orang.

Praktek sunat perempuan masih marak dilakukan di Indonesia, baik di pedesaan maupun perkotaan. Hal ini terungkap dalam survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021.

Survei yang dilakukan di 160 kabupaten dan kota di 10 provinsi tersebut melibatkan responden berusia 15 hingga 64 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa 55 persen anak perempuan dari kelompok usia 15-49 tahun yang tinggal bersama orang tua menjalankan praktik sunat perempuan.

BACA JUGA: Rekomendasi 5 Warung Ayam-Ayaman Langganan Mahasiswa Kota Malang

Ada berbagai alasan mengapa sunat perempuan masih kerap terjadi di Indonesia, diantaranya yaitu:

  • Alasan agama

Praktik sunat perempuan sering dikaitkan dengan ajaran agama tertentu, seperti Islam dan Kristen. Namun, perlu ditegaskan bahwa tidak ada ajaran agama yang mengharuskan sunat perempuan.

  • Alasan budaya

Dalam beberapa budaya, sunat perempuan dianggap sebagai bagian dari tradisi yang telah mengakar. Praktik ini sering kali dianggap sebagai tanda kebersihan, kesucian, dan kehormatan perempuan.

  • Alasan mitos dan kepercayaan

Ada berbagai mitos dan kepercayaan yang melatarbelakangi praktik sunat perempuan. Beberapa mitos tersebut antara lain bahwa sunat perempuan dapat mencegah kegandungan, mengurangi gairah seksual, dan melindungi anak perempuan dari perkosaan.

Praktik sunat perempuan memiliki dampak negatif yang signifikan bagi kesehatan perempuan dan anak perempuan. Dampak tersebut antara lain:

  • Nyeri dan perdarahan. Praktik sunat perempuan sering kali dilakukan tanpa anestesi, sehingga dapat menyebabkan rasa sakit dan perdarahan yang parah.
  • Infeksi. Praktik sunat perempuan yang dilakukan secara tidak higienis dapat meningkatkan risiko infeksi, seperti tetanus, sepsis, dan HIV/AIDS.
  • Gangguan fungsi seksual: Sunat perempuan dapat menyebabkan gangguan fungsi seksual, seperti nyeri saat berhubungan seksual, kesulitan mencapai orgasme, dan bahkan ketidaksuburan.
  • Masalah psikologis. Sunat perempuan dapat menyebabkan masalah psikologis, seperti trauma, depresi, dan kecemasan.

Memang, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mencegah dan menghapus praktik sunat perempuan. Misalnya pada 2006, terbit Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2006 yang melarang praktik sunat perempuan. Namun, kebijakan ini kemudian dicabut pada 2010 dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 13636/MENKES/PER/XI/2010 yang mengatur prosedur sunat perempuan oleh tenaga medis.

Kebijakan kontroversial ini akhirnya menuai protes dari berbagai kalangan, karena dianggap tidak konsisten dengan komitmen Indonesia untuk menghapus praktik sunat perempuan. Pada 2014, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan baru dengan mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 13636/MENKES/PER/XI/2010 Tentang Sunat Perempuan.

Kebijakan-kebijakan tersebut tampaknya menunjukkan komitmen pemerintah Indonesia untuk menghapus praktik sunat perempuan. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan upaya yang kuat dan masif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan lembaga-lembaga terkait.

BACA JUGA: 6 Tips Pendidikan Seks untuk Anak Sesuai Usia, Biarkan Anak Bertanya

Berikut adalah beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menghapus praktik sunat perempuan di Indonesia:

  1. Pemerintah wajib memperkuat regulasi dan penegakan hukum untuk mencegah dan menghapus praktik sunat perempuan.
  2. Pemerintah juga wajib mencabut regulasi atau kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dengan prinsip Hak Asasi Manusia.
  3. Masyarakat diedukasi tentang bahaya dan dampak negatif praktik sunat perempuan mulai dari ranah individu hingga publik.
  4. Membangun kolaborasi dengan lembaga-lembaga terkait untuk memberikan dukungan dan pendampingan kepada perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban sunat perempuan.

Hemat penulis, dengan kerja sama yang kuat dari berbagai pihak, praktik sunat perempuan di Indonesia dapat dihapus dan perempuan dan anak perempuan terlindungi dari dampak negatifnya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Wahyu Astungkara