Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Akramunnisa Amir
Sampul buku Mengapa Tidak Pernah Ada yang Memberitahuku (Gramedia Digital)

Buku dengan judul asli Why Has Nobody Told Me This Before atau Mengapa Tidak Pernah ada yang Memberitahuku karya Dr. Julie Smith ini adalah buku self help yang membahas tentang panduan sehari-hari untuk menjaga kesehatan mental dan ketenteraman diri. 

Berbicara tentang kesehatan mental, sebenarnya ada banyak buku yang sudah membahas terkait hal tersebut. Namun yang membuat buku ini menarik adalah bagaimana penulis memberikan solusi secara praktikal dan masuk akal yang bisa kita terapkan. 

Penulis memaparkan banyak hal mengenai cara kerja otak dalam mengelola emosi. Ketika kita merasakan sebuah gejolak emosi yang kuat, ternyata kita bisa memberi intervensi terhadap emosi tersebut. Intervensi itu bisa berupa perbuatan atau aktivitas fisik dengan upaya sadar yang kita lakukan. 

Misalnya ketika merasa kecewa, sedih, cemas, bahkan stres. Biasanya ada kecenderungan bagi kita untuk berdiam diri dan nggak ngapa-ngapain dalam periode yang tidak mengenakkan itu.  

Tapi menurut Dr. Julia Smith, bergerak dan melakukan aktivitas justru sesuatu yang bisa meringankan gejolak perasaan buruk yang kita rasakan.

Ketika mood memburuk, kita disarankan untuk melakukan aktivitas fisik, bahkan berolahraga. Karena aktivitas fisik bisa merilis dopamin dalam otak yang membuat mood kita menjadi lebih baik. 

Bagian intervensi ini sih yang menurut saya paling menarik. Karena saat melewati berbagai episode kehidupan yang tidak menyenangkan, kecenderungan untuk memperturutkan suasana hati itu begitu kuat.

Saat sedih maunya pengin rebahan seharian, scrolling media sosial, atau hanya bergelung di kamar tanpa ingin diganggu oleh siapa pun. 

Tapi, terus-terusan membiarkan diri sendiri dalam kondisi seperti itu adalah sesuatu yang akan memperlambat mental untuk pulih. Memang benar kita butuh ruang untuk bersedih dan berduka sejenak, tapi hidup harus terus berlanjut mau semenyakitkan apa pun keadaannya.

Keluar rumah menghirup udara segar, bertemu teman dekat, bersosialisasi, bahkan menyibukkan diri dalam pekerjaan dan target-target hidup yang kepengin kita selesaikan adalah salah satu jalan untuk memperpendek periode kesedihan yang kita rasakan. 

Memang itu tidak mudah. Dan buku ini memberi kita panduan tentang bagaimana cara untuk melakukannya. Selain melakukan intervensi, bagian lain yang saya suka adalah tentang pembahasan dalam memandang peristiwa kematian sebagai sesuatu yang seharusnya membuat hidup kita semakin bermakna.  

Siapa sih yang nggak takut mati? Kematian adalah sebuah keniscayaan bagi setiap manusia. Tapi, memikirkan bahwa suatu hari nanti hidup kita akan berakhir sering kali membuat kita takut. Bahkan tak jarang bikin kita hopeless dan tidak bersemangat dalam menjalani hidup. 

Tapi, ketika memandang kematian sebagai suatu titik awal dalam mengukur kualitas hidup, ini bisa jadi parameter bagi kita untuk membuat hidup lebih berarti. Kita tahu bahwa kehidupan ini bakal berakhir, maka setidaknya kita melakukan sesuatu yang benar-benar pengin diwujudkan agar tidak menyesal. 

Terakhir, ada pembahasan mengenai manajemen stres. Kita memang nggak bisa ujug-ujug menghilangkan stres yang ada di pikiran. Tapi kita bisa menjadikan perasaan stres itu sebagai teman yang sebenarnya bikin hidup itu nggak monoton. Stres dan masalah terkadang membuat manusia itu bergairah dan tertantang untuk membuat perubahan. 

Nah, penasaran dengan pembahasan lainnya? Yuk baca buku self-help yang satu ini!

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Akramunnisa Amir