Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Akramunnisa Amir
Sampul Buku Matinya Kepakaran (ipusnas)

Bagi sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, kebebasan berpendapat adalah sebuah keniscayaan.

Namun yang menjadi masalah adalah ketika kebebasan berpendapat tersebut membuat semua orang tiba-tiba menyuarakan pendapat tanpa melibatkan fakta dan data yang benar. 

Contoh paling dekat adalah fenomena yang kita saksikan saat pesta demokrasi yang berlangsung beberapa waktu lalu.

Kita dengan begitu mudah terpengaruh dengan berita-berita provokatif tapi belum jelas kebenarannya. Bahkan, banyak yang termakan dengan berita hoaks karena tidak mampu menyaring konten-konten yang dibaca. 

Hal tersebut menjadi salah satu pembahasan dalam buku berjudul asli The Death of Expertise, atau 'Matinya Kepakaran,' yang ditulis oleh Tom Nichols. 

Menurut Nichols, Matinya Kepakaran adalah penolakan terhadap pengetahuan yang telah matang. Di dalamnya sudah termasuk ranah sains dan rasionalitas yang tak memihak. 

Hal tersebut tidak lepas dari adanya perkembangan teknologi yang menyebabkan perputaran informasi menjadi semakin cepat dan mampu menjangkau semua orang.

Kehadiran internet adalah salah satu faktor yang menyebabkan siapa saja mampu mengakses pengetahuan. 

Internet ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia hadir sebagai sarana untuk memudahkan penyebaran ilmu.

Namun di sisi lain, internet menjadikan sejumlah orang menjadi jumawa dan merasa lebih tahu dari para pakar. 

Misalnya fenomena self diagnose dalam bidang kesehatan. Seseorang yang sakit tiba-tiba mendiagnosa dirinya sendiri padahal belum tentu ia mengalami hal yang demikian.

Juga adanya beberapa pasien yang terkadang tidak percaya dengan saran-saran dari dokter karena termakan mitos dan bias pengetahuannya.  

Salah satu contoh kasus yang diangkat dalam buku ini adalah kasus virus HIV pada tahun 1990-an yang menelan ratusan ribu korban jiwa di Afrika karena presidennya menolak bantuan dan masukan dari para medis. 

Padahal, ada banyak nyawa yang bisa terselamatkan jika pemegang kekuasaan di negara tersebut mau mendengarkan saran dari para pakar. 

Belum lagi banyaknya teori konspirasi dan cocoklogi yang menyesatkan banyak orang. Bisa dilihat dari media sosial, ketika hoax menjadi kian merebak karena berita yang tidak kredibel.  

Semua orang juga tiba-tiba bisa menjadi "jurnalis" meskipun tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk menulis.

Banyak berita yang hanya mementingkan jumlah views hingga tidak lagi menyuguhkan sumber terpercaya.

Belum lagi artikel dengan judul clickbait yang terkadang menyesatkan banyak orang.

Algoritma mesin pencari juga menyuguhkan kita konten-konten yang ingin kita simak, alih-alih menyajikan sebuah kebenaran.

Dan yang tak kalah memiriskan adalah ketika seorang pakar melakukan kesalahan, hal tersebut akan semakin membuat kepercayaan masyarakat jadi menurun.

Tak peduli betapa banyak karya dan sumbangsih yang telah ia berikan sebelumnya. 

Intinya, buku ini menyuarakan sebuah keresahan yang dialami oleh penulis terkait matinya sebuah kepakaran.

Adapun pesan penting yang diangkat adalah kita hendaknya menjadi semakin jeli dan teliti saat menyaring sebuah informasi. Sebab, kepercayaan pada kepakaran adalah salah satu kunci untuk mencapai kehidupan pribadi dan bermasyarakat yang lebih baik di masa yang akan datang. Selamat membaca!

Akramunnisa Amir