Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Akramunnisa Amir
Nyanyian Akar Rumput (Goodreads)

Berakhirnya kekuasaan pemerintah Orde Baru pada tahun 1998 tentu membawa angin segar bagi mayoritas rakyat yang menghendaki digantikannya pemerintahan yang telah berlangsung selama 32 tahun tersebut.

Namun ternyata, akhir kekuasaan Presiden Soeharto tersebut juga membayar harga yang mahal atas hilangnya sejumlah aktivis yang marak bersuara.

Salah satunya adalah Wiji Thukul, seorang aktivis, penulis, sekaligus seniman yang saat itu begitu lantang menyuarakan ketimpangan sosial dan ketidakadilan di kalangan masyarakat menengah ke bawah.

Sesaat sebelum pemerintahan lengser, Wiji Thukul dan sejumlah aktivis lain dinyatakan hilang.

Hingga hari ini, belum ada kepastian mengenai nasib para aktivis yang konon katanya menjadi korban dari operasi militer kala itu. Sebuah tragedi yang telah menjadi salah satu pelanggaran HAM terbesar yang pernah dialami oleh bangsa ini.

Meskipun kini kita tidak lagi pernah menemui sosoknya, namun semangat dan perjuangan dari Wiji Thukul masih bisa kita rasakan lewat karya-karya yang ditinggalkan. Salah satunya adalah puisi-puisi yang telah dibukukan dengan judul 'Nyanyian Akar Rumput'.

Lewat puisi-puisi yang ada di buku ini, Wiji Thukul menyampaikan sejumlah keresahannya terkait dinamika politik, kemiskinan, hak-hak buruh, hingga kritik sarkasme kepada pemerintah yang disampaikan dengan begitu berapi-api.

Selain itu, lewat beberapa puisinya, Thukul menyarankan kepada kita semua tentang betapa pentingnya bersuara dan menolak bungkam atas ketidakadilan yang kita saksikan. Sebagaimana pada kutipan puisi berjudul Ucapkan Kata-Katamu berikut.

Jika kau tak berani lagi bertanya
Kita akan jadi korban keputusan-keputusan
Jangan kau penjarakan ucapanmu
Jika kau menghamba pada ketakutan
Kita akan memperpanjang barisan perbudakan

Hal yang sama juga dijumpai dalam puisi berjudul Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu yang mengkritisi orang-orang yang mengaku cerdas dan memahami banyak hal namun enggan untuk menyuarakan kebenaran.

Bahkan ada di antara orang tersebut yang malah memanipulasi keadaan lalu bersifat pragmatis. Memanfaatkan keadaan hanya untuk kepentingan pribadi, tanpa pernah memikirkan nasib orang lain yang menjadi korban atas kepentingan-kepentingan tersebut.

Adapun puisi yang menurut saya cukup berkesan adalah puisi berjudul Sukmaku Merdeka yang rasanya mampu memberi semangat agar kita juga tidak berhenti memperjuangkan hidup yang kita jalani. Berikut beberapa dari kutipannya.

Waktu yang diisi keluh akan berisi keluh
Waktu yang berkeringat karena kerja
Akan melahirkan serdadu-serdadu kebijaksanaan

Biar perang meletus kapan saja
Itu bukan apa-apa
Masalah nomor satu adalah hari ini

Jangan mati...
Sebelum dimampus takdir
Sebelum malam mengucap selamat malam
Sebelum kubur mengucap selamat datang

Aku mengucap selamat pagi pada hidup yang jelata:
Merdeka!

Demikianlah ulasan singkat mengenai buku Nyanyian Akar Rumput. Bagi pembaca yang ingin menikmati puisi dengan nuansa perjuangan, karya-karya dari Wiji Thukul ini layak untuk menjadi renungan!

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Akramunnisa Amir