Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | Akramunnisa Amir
Sampul Novel Manusia dan Badainya (Goodreads)

Saat menyelami jiwa manusia, kita bisa menemukan bahwa di balik satu wajah yang familiar, sesungguhnya terdapat banyak topeng yang disembunyikan.

Kadang kita menganggap telah mengenal seseorang, namun sebenarnya tidak benar-benar bisa memahaminya.

Bahkan dalam mengenali diri sendiri pun, seringkali kita terjebak dalam bias kesalahpahaman. Semakin kita bertumbuh, ada bagian-bagian dalam diri yang menampakkan hal yang tak terduga.

Sebagaimana yang dialami oleh tokoh bernama Janu dalam novel 'Manusia dan Badainya'. Novel karya Syahid Muhammad ini terbilang unik, karena membacanya seolah-olah kita sedang menyimak memoar dari seorang pemuda yang sedang mengalami krisis mental terhadap dirinya sendiri.

Lalu secara perlahan, pengalamannya membawa Janu pada proses self healing untuk menyembuhkan luka batin yang ia alami.

Adapun konflik utama yang dialami oleh Janu adalah bagaimana ia mengatasi rasa kesepian yang menjadi imbas dari luka batinnya sejak kecil.

Terkait kesepian ini, ada sebuah paragraf yang menurut saya menarik dan tampaknya menjadi inti dari cerita yang hendak disampaikan penulis dalam novel ini.

"Kau tahu apa yang paling menyedihkan dari kesepian? Ketika kau merasakannya meskipun kau sedang bersama seseorang. Itu bagian pertama. Bagian kedua, katanya kesepian juga terjadi saat kau tidak nyaman dengan dirimu sendiri". (Halaman 8)

Pada dasarnya, Janu sebagai tokoh sentral yang ada dalam cerita mengalami kedua hal di atas. Rasa kesepian dan perasaan tidak nyaman terhadap diri sendiri.

Tampaknya, hal tersebut berkaitan erat dengan pola asuh yang ia terima dari kedua orang tuanya.

Ia kehilangan kasih sayang seorang ayah. Satu-satunya orang yang tulus padanya tersebut pergi untuk selama-lamanya.

Sedangkan ibunya yang merupakan seorang wanita karier terlalu sibuk dengan urusan kantor dan tidak pernah menampakkan kepedulian kepada anak semata wayangnya tersebut.

Di hadapan ibunya yang ambisius, Janu seolah merasa tidak pernah cukup dan bisa diandalkan sebagai seorang anak.

Dampak dari luka batin yang dialami Janu terlihat dari bagaimana ia membangun hubungan dengan orang lain. Khususnya saat bersama sederet mantan kekasihnya.

Ketika bersama Nurani, Livia, Kinan, maupaun Bia, Janu selalu terjebak dalam pola hubungan yang toksik. Mereka secara tidak sengaja saling menyakiti karena luka batin yang belum sembuh.

Dan dalam novel ini menceritakan bagaimana Janu berproses untuk bisa berdamai dengan semua traumanya. Di akhir cerita, bahkan ia berhasil menyelamatkan sahabatnya dalam pola hubungan yang abusive. Ending-nya, Janu, kekasih, hingga sahabatnya saling menyembuhkan satu sama lain.

Selain mengangkat mengenai perjalanan seseorang dalam proses healing, novel ini juga menyajikan cerita yang hangat sekaligus menarik untuk disimak.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Akramunnisa Amir