Kalau ditanya, kira-kira golongan mana yang sering merasa insecure dengan penampilan saat ia berkaca, perempuan ataukah laki-laki? Siapakah yang kira-kira lebih mudah membandingkan diri dan orang lain? Atau, kelompok mana yang dikit-dikit suka ngeluh tentang kekurangan-kekurangan kecil yang ada pada dirinya?
Jawabannya tentu saja relatif, ya. Tergantung dari karakter setiap orang. Ada yang emang bawaannya pede aja, tapi ada juga yang gampang insecure. Tapi secara umum, perempuan kerap lebih sensitif dengan masalah kepercayaan diri.
Sebagai perempuan, kita bisa jadi amat rewel ketika berhadapan dengan penampilan yang kurang sempurna, atau mendapatkan kritik dari seseorang.
Terkait hal tersebut, ada sebuah buku yang mengupas tuntas tentang masalah ini. Yakni buku berjudul 'Bangga Jadi Perempuan' karya Yusrina Sri. Sebagaimana judulnya, buku ini berisi pembahasan tentang memperbaiki persepsi positif terhadap perempuan yang dibahas dalam sudut pandang islam.
Lewat buku ini, penulis membawa sebuah narasi tentang bagaimana memperbaharui mindset kita sebagai perempuan sehingga kita bisa merasa bangga dengan kedudukan yang kita jalani hari ini.
Memang nggak bisa dipungkiri bahwa status sebagai perempuan kerap membawa banyak dilema. Selama kita melalui proses pendewasaan dalam masyarakat, selalu aja ada hal yang seolah dituntut oleh seorang perempuan.
Telat nikah dianggap jadi perawan tua, ingin melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya kerap dicibir karena ujung-ujungnya berakhir menjadi ibu rumah tangga, tetapi ambis ngejar karier disaat sudah berkeluarga dianggap tidak becus menjadi istri dan ibu. Lha, jadi harus gimana dong bersikap sebagai perempuan?
Nah, sebenarnya dalam ajaran islam, perempuan ditempatkan dalam kedudukan yang amat mulia. Meskipun kita sering mendapati stigma bahwa di dalam agama ini, perempuan dinilai sebagai pelengkap laki-laki saja.
Laki-laki yang merupakan qowwam dan imam, dan perempuan harus patuh dan tunduk sebagai makmum-nya. Padahal nggak sesaklek itu sebenarnya. Perempuan justru adalah pangkal utama dari kehidupan itu sendiri. Bukan pelengkap, bukan figuran, atau mereka yang tugasnya harus manut aja dengan aturan.
Buku ini lantas memberikan motivasi, bahwa sekalipun sebagai perempuan kita merasa inferior dengan status yang kita jalani, selalu ada penghiburan yang disajikan oleh ajaran islam.
Bahwa pada dasarnya sosok perempuan itu dimuliakan. Ada cukup banyak contoh yang diceritakan oleh penulis tentang sosok-sosok perempuan yang begitu kuat, sabar, gigih, tapi tetap bisa berbahagia dengan seluruh takdir yang menimpanya.
Contoh kasus tersebut bisa menyadarkan kita bahwa entah dari latar belakang keluarga manapun, seorang perempuan bisa menepis stigma negatif dengan rasa syukur dan kebanggaan.
Kelebihan dari buku ini adalah pesan-pesan reflektif yang disajikan penulis. Membaca buku ini berasa sedang mendengarkan wejangan dan nasihat yang amat menenangkan.
Hanya saja, kebanyakan isinya memang hanya seputar motivasi islam. Kalau pembaca mengharapkan buku yang berisi pembahasan yang sedikit ilmiah, maka buku ini barangkali nggak memenuhi ekspektasi tersebut.
Saat melihat halaman sampul dengan ilustrasi gambar perempuan dari berbagai belahan dunia, sebenarnya saya mengira ada pembahasan tentang fenomena sosial yang lebih luas. Yakni tentang ragam problematika perempuan yang dikupas secara tajam dan kritis lewat sudut pandang islam. Tetapi ternyata buku ini hanya berisi motivasi, cerita-cerita menyentuh dan kutipan inspiratif.
Terlepas dari ekspektasi saya yang ketinggian terhadap buku ini, apa yang dipaparkan oleh penulis di buku ini patut diapresiasi. Mungkin segmen pembacanya disasar untuk kalangan remaja atau usia dewasa awal yang masih dalam proses mencari jati diri.
Bagi pembaca yang menyukai buku yang inspiratif, Bangga Jadi Perempuan bisa menjadi bacaan yang menggugah. Selamat membaca!
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Ironi Kasus Keracunan Massal: Ketika Petinggi Badan Gizi Nasional Bukan Ahlinya
-
Harga Buku Mahal, Literasi Kian Tertinggal: Alasan Pajak Buku Perlu Subsidi
-
Public Speaking yang Gagal, Blunder yang Fatal: Menyoal Lidah Para Pejabat
-
Headline, Hoaks, dan Pengalihan Isu: Potret Demokrasi tanpa Literasi
-
Polemik Bu Ana, Brave Pink, dan Simbol yang Mengalahkan Substansi
Artikel Terkait
-
Ulasan Novel Evermore: Kisah Rumit yang Bikin Nyesek Sekaligus Gregetan!
-
Ulasan Novel Matahari Terbenam, Potret Sunyi dari Dunia Pasca Perang
-
Stereotip Gender: Futsal Perempuan di Kalangan Gen Z
-
Ulasan Buku Menjemput Keberuntungan, Motivasi dari Para Tokoh Sukses Dunia
-
Main Futsal Nggak Cuma Ikut-ikutan: Cerita Kita Para Perempuan Lapangan
Ulasan
-
Membaca Drama 'Genie, Make a Wish' Lewat Lensa Pengasuhan Kolektif
-
Review Film Ballad of a Small Player: Visual Ciamik tapi Kesan Akhir Kosong
-
The Principles Of Power: Rahasia Memanipulasi Orang Lain di Segala Situasi
-
Review Film Dongji Rescue: Kisah Heroisme Lautan yang Menggetarkan
-
Les Temptes de la Vie: Ketika Musik, Paris, dan Badai Hidup Menyatu
Terkini
-
Sosok Benjamin Paulus Octavianus, Dokter Spesialis Paru yang Jadi Wamenkes
-
Auto Ganteng Maksimal! 3 Ide Outfit Keren ala Mas Bree yang Bisa Kamu Tiru
-
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2025: Kesehatan Mental Hak Semua Orang
-
Harus Diakui, Timnas Indonesia Kerap Kehilangan Identitas Permainan di Era Patrick Kluivert
-
Curhatan Anya Geraldine, Sering Dikirimi Video Siksa Kubur oleh Sang Ibu