Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yayang Nanda Budiman
Efek Rumah Kaca (Instagram.com/sebelahmata_erk)

"Sinestesia" oleh Efek Rumah Kaca (2015) adalah sebuah karya masterpiece. Salah satu lagu ERK yang sedang kembali mengemuka dan banyak diperdengarkan oleh sejumlah pencinta musik tanah air adalah “Putih” yang selalu terdengar sakral. 

"Putih" menggabungkan dua fragmen dari lagu-lagu sebelumnya, "Tiada" dan "Ada." Dalam lagu ini, Efek Rumah Kaca mengeksplorasi tema kematian dan kelahiran.

Meskipun tema ini bukanlah hal baru, cara penyampaian dan perspektif yang diusung terasa berbeda dari lagu-lagu serupa sebelumnya. Tampaknya, tema ini belum pernah dibahas oleh mereka dalam diskografi sebelumnya.

Lagu dimulai dengan suasana dingin dan hening, dibuka oleh melodi piano yang didukung oleh ketukan drum yang halus namun tepat, mengantarkan bassline ke dalam nada yang mengalun lembut.

Tanpa progresi akor yang rumit, ketiga instrumen ini saling melengkapi, menciptakan ruang yang intim bagi lagu. Piano menjadi tulang punggung lagu ini, berbeda dengan album sebelumnya yang lebih didominasi oleh riff gitar.

Kali ini, suara gitar Cholil muncul di beberapa bagian penting, memberikan kontribusi krusial pada suasana lagu, sambil tetap mempertahankan kedalaman yang khas dari Efek Rumah Kaca.

Ketika Cholil bernyanyi, ia seolah menjadi sosok yang mengalami kematian. Suara falsetto-nya berpadu dengan vokal Adrian yang menyampaikan lirik dengan nuansa sinematis, membagi lagu menjadi tiga babak.

Bagian pertama "Putih" membawa pendengar menyelami momen-momen menjelang kematian. Liriknya mengajak kita merasakan proses sekarat, memberi tawaran untuk menerima kenyataan dengan lapang dada, seolah berkata, "Akhirnya aku usai juga."

Diskusi tentang kematian dalam lagu bukanlah hal yang baru, namun Efek Rumah Kaca menawarkan pandangan bahwa kematian bukanlah akhir segalanya.

"Putih" tidak melihat kematian sebagai sesuatu yang harus diterima begitu saja, melainkan sebagai harapan akan kebangkitan: "Esok kan bermekaran."

Sebagai lagu kelima dalam album "Sinestesia", Efek Rumah Kaca, band asal Jakarta, dikenal dengan lirik-liriknya yang menyentuh dan menggambarkan realitas sosial.

Dalam "Putih", mereka membahas kematian sebagai bagian tak terhindarkan dari kehidupan, menggarisbawahi bahwa semua yang hidup akan mati.

Tokoh "Aku" dalam lagu ini berbagi cerita tentang pengalaman kematian dan kehidupan. Ditulis oleh Cholil, Adrian, dan Akbar, lagu ini kaya akan simbol.

Meskipun kematian digambarkan secara jelas, simbol-simbol kehidupan disampaikan lebih halus, seperti dalam lirik, "Karena kematian untuk kehidupan tanpa kematian."

Lagu ini menceritakan proses kematian dari sudut pandang yang realistis, mulai dari tiduran di ambulans hingga momen tahlilan.

"Putih" juga memiliki dua narasi yang saling terkait, masing-masing dengan teknik vokal yang berbeda, yaitu nyanyian Cholil dan deklamasi oleh Adrian, yang membuat tokoh "Aku" terasa lebih hidup.

Secara keseluruhan, "Putih" menggambarkan siklus hidup manusia, mengajak kita menikmati setiap momen kehidupan, bukan hanya dari lahir menuju mati, tetapi dari kematian menuju kehidupan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Yayang Nanda Budiman