Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Rie Kusuma
Cover novel Les Masques (Ijak)

Hari itu, ada yang mati di dalam jiwa Fleur. Dan ada yang lahir di balik kengerian yang baru dirasakannya. (Hal. 2)

Kalimat dalam prolog tersebut bagai sebuah aba-aba untuk saya, bahwa novel Les Masques tidak akan semanis novel-novel romance yang biasanya ditulis Indah Hanaco.

Novel terbitan Grasindo pada tahun 2014 ini berkisah tentang gadis 16 tahun bernama Fleur Radella, yang memiliki tiga alter ego dalam tubuhnya.

Fleur tinggal bersama omanya, Marini, sejak ia dilahirkan. Marini yang menganggap Fleur sebagai pembunuh Renee Isabel, anaknya yang meninggal setelah melahirkan Fleur, lalu memperlakukan cucunya itu dengan buruk dan penuh kebencian.

Salah satunya, Fleur kecil pernah dikurung dalam kamar mandi gelap oleh sang Oma. Awal mula dari lahirnya alter ego yang pertama, Elektra Valerius, yang kerap mengambil alih tubuh Fleur ketika dewasa.

Fleur tumbuh menjadi anak pemurung, penuh trauma, pendiam, tak percaya diri, dan menjauhi segala interaksi dengan orang lain. Ia juga selalu ketakutan jika berada di dekat Marini.

Tapi, ketika Elektra mengambil alih tubuh Fleur—seperti ketika tanpa setahu Fleur dirinya telah terdaftar sebagai salah satu kontestan pemilihan model—ia berubah menjadi Fleur yang periang, percaya diri, bahkan cenderung licik dan berbahaya.

Kecantikan Fleur yang begitu mencolok, dengan rambut cokelat nyaris pirang, kulit putih, dan mata hijau besar, membuat Fleur dicintai dengan cara yang ‘sakit’ oleh orang-orang terdekatnya.

Pelecehan yang dilakukan pamannya terhadap Fleur, menyebabkan kelahiran alter ego yang kedua. Tatum Honora, lahir sebagai bentuk dari ketidakmampuan manusia untuk menundukkan diri sendiri.

Elektra adalah alter ego yang paling sering mengambil alih tubuh Fleur. Ia bertindak spontan, seringkali tanpa memikirkan dampaknya bagi Fleur.

Ketika pengambilalihan tersebut terjadi, Fleur akan merasakan sakit di kepalanya dan ia tidak bisa mengingat semua peristiwa yang terjadi setelahnya. Bahkan peristiwa yang mencelakakan orang-orang di sekitarnya.

Menggunakan alur maju mundur pembaca akan diajak melintasi masa demi masa kehidupan Fleur, saat ia masih seorang bocah ingusan sampai menjadi remaja yang cantik jelita.

Ada pula sisipan kisah dari ibunda Fleur, Renee, yang melatarbelakangi kehidupan pahit yang dialami Fleur dan pelecehan yang dialami gadis itu berulang kali.

Mengangkat tema thriller psikologi, penulis berhasil membawa nuansa yang gelap, suram, dan penuh tekanan dalam kehidupan Fleur. Ditambah konflik berlapis tak hanya tentang kekerasan fisik dan mental yang dialami Fleur, tapi juga pelecehan seksual dari orang-orang terdekatnya.

Selain konflik internal, ada pula konflik eksternal dari lingkungan Fleur di dunia model, termasuk perundungan dari orang-orang yang merasa tersaingi oleh kehadiran Fleur dan (lagi-lagi) kekerasan seksual.

Saya harus mengacungkan jempol atas riset yang dilakukan penulis terkait dengan kepribadian ganda (alter ego), mealybug (benar-benar pengetahuan baru bagi saya), dan juga pesan yang ingin disampaikan tentang awareness terhadap kekerasan seksual dan tindakan abusif pada anak.

Beberapa plot twist di novel ini berhasil mengejutkan saya. Terutama plot twist terakhir yang mengawali kelahiran alter ego ketiga, Adam Dewatra. Ini benar-benar tak terduga dan saya sampai gemas karena tokoh ini ikut andil dalam kekerasan seksual yang dialami Fleur.

Ending ceritanya terbuka, tapi saya sudah bisa membayangkan apa yang bakal terjadi. Apalagi ketika lagu Heaven milik Bryan Adams disenandungkan Fleur. Duh, lagu itu, sekarang, akan memiliki persepsi yang sama sekali berbeda, ketika saya mendengarkannya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Rie Kusuma