Setelah kesuksesan dua karya sebelumnya, Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta dan Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-Apa. Alvi Syahrin kembali menyapa pembacanya lewat buku ketiganya yang berjudul Jika Kita Tak Pernah Baik-Baik Saja.
Buku ini hadir sebagai pengingat bahwa tidak apa-apa jika kita tidak selalu kuat. Tidak apa-apa jika kita merasa sedih, kosong, atau kehilangan arah—karena pada kenyataannya, manusia memang tidak selalu baik-baik saja.
Identitas Buku
- Judul : Jika Kita Tak Pernah Baik-Baik Saja
- Penulis : Alvi Syahrin
- Penerbit : GagasMedia
- Terbit : Cetakan pertama, 2020
- Tebal : 208 halaman
- Genre: Self Improvement
Diterbitkan oleh GagasMedia pada 2020, buku ini terdiri dari 45 bab yang dibagi dalam empat bagian utama: Patah Hati, Pengkhianatan, Kehilangan; Letting Go: Melepaskan; Kebahagiaan yang Telah Lama Hilang; dan Self-Love. Masing-masing bagian merepresentasikan fase-fase emosional yang sering dialami dalam kehidupan sehari-hari. Dari patah hati karena cinta yang tidak dibalas, luka karena dikhianati sahabat, hingga usaha bangkit dan menerima diri sendiri apa adanya.
Gaya penulisan Alvi masih khas seperti dua buku sebelumnya. Ringkas, puitis, dan mudah dicerna. Banyak bab hanya terdiri dari satu atau dua halaman, bahkan ada yang hanya menampilkan satu kutipan sederhana, seperti:
"Tak ada hujan yang tak pernah mereda. Tak ada banjir yang tak pernah surut. Semuanya nanti berlalu juga kok." (hal. 23)
Justru dalam kesederhanaan itu, kekuatan buku ini terletak. Alvi tidak berusaha mengguruimu. Ia menuliskan keresahan sebagai seorang teman, bukan sebagai motivator. Ini membuat buku ini terasa sangat personal, seolah kita sedang diajak ngobrol oleh seseorang yang tahu betul bagaimana rasanya tersesat di tengah hidup yang sibuk, ekspektasi yang melelahkan, dan kehilangan arah yang diam-diam menyakitkan.
Relate dengan Realitas Digital Saat Ini
Salah satu kekuatan besar buku ini adalah bagaimana ia mengaitkan isu mental well-being dengan dunia digital. Di tengah dominasi media sosial, Alvi menulis soal bagaimana kita sering membandingkan diri dengan orang lain. Kita melihat pencapaian orang di Instagram, pernikahan yang sempurna, karier yang melesat, dan merasa hidup kita tidak ada artinya.
Menurut survei dari Pew Research Center, 43% anak muda usia 18–29 tahun menyatakan bahwa media sosial membuat mereka merasa lebih buruk tentang hidup mereka karena perbandingan sosial. Alvi menangkap kegelisahan ini dan mengingatkan bahwa pencapaian orang lain tidak selalu cocok untuk kita, dan kebahagiaan tidak bisa disalin dari orang lain.
Estetika Buku: Mendung yang Menenangkan
Secara visual, buku ini tetap konsisten dengan dua pendahulunya. Sampul berwarna biru dengan ilustrasi awan mendung dan hujan memberi kesan bahwa buku ini memang ditujukan untuk mereka yang sedang berada di "musim hujan kehidupan". Warna yang dipilih pun bukan tanpa makna—biru mendalam kerap diasosiasikan dengan perasaan tenang sekaligus sedih. Layout-nya minimalis dan elegan, membuat pengalaman membaca terasa ringan.
Catatan Kritis untuk Buku ini
Meski buku ini terasa sangat relatable bagi banyak orang, tidak semua pembaca merasa terhubung dengan isinya. Beberapa ulasan menyebut bahwa banyak skenario yang tidak universal, seperti pengalaman patah hati karena hubungan romantis, yang mungkin belum atau tidak semua orang alami. Selain itu, penekanan nilai-nilai Islam dalam beberapa bagian juga bisa terasa terlalu spesifik bagi pembaca non-Muslim, meski bagi sebagian lainnya justru menjadi daya tarik tersendiri.
Belum lagi jika pembaca yang mengikuti seri jika kita tak pernah, maka akan terasa perbedaannya. Mungkin bisa dibilang buku ini terakhir dan menjadi penutup seri dua buku lain sehingga agaknya terasa kurang power dibanding 2 buku sebelumnya.
Jika Kita Tak Pernah Baik-Baik Saja bisa dibilang semacam pelukan hangat di hari yang melelahkan. Pengingat bahwa luka itu wajar, bahwa hampa itu bukan dosa, dan bahwa tidak baik-baik saja adalah bagian dari proses menjadi lebih kuat. Dengan gaya yang sederhana namun penuh makna, Alvi Syahrin kembali berhasil menjadi suara bagi generasi yang sering kali bingung dengan dirinya sendiri.
Jika kamu sedang kehilangan arah atau merasa kosong tanpa alasan yang jelas, mungkin buku ini bisa jadi teman sunyi yang tepat. Karena pada akhirnya, kita memang tak pernah sepenuhnya baik-baik saja—dan itu tidak apa-apa.
Tag
Baca Juga
-
Ulasan Novel Mean Streak: Keberanian Memilih Jalan Hidup Sendiri
-
Ulasan Novel Yang Telah Lama Pergi: Runtuhnya Negeri Penuh Kemunafikan!
-
Ulasan Novel Algoritme Rasa: Ketika Setitik Luka Jadi Dendam Abadi
-
Ulasan Novel Bandit-Bandit Berkelas: Nasib Keadilan di Ujung Tanduk!
-
Ulasan Novel Tanah Para Bandit: Ketika Hukum Tak Lagi Memihak Kebenaran
Artikel Terkait
-
Ulasan Buku Pede Aja!: Perihal Menerima dan Mencintai Diri Sendiri
-
Ulasan Novel The Star and I: Perjalanan Rindu yang Tak Pernah Punya Nama
-
Ulasan Novel Lautan dan Dendamnya: Mencari Tuhan dalam Balutan Romansa
-
Ulasan Novel Metaworld: Petualangan Menantang Mencari Batu Tazer
-
Ulasan Novel The Picture of Dorian Gray: Ketika Jiwa Terjual Demi Tampilan
Ulasan
-
Ulasan Novel Mean Streak: Keberanian Memilih Jalan Hidup Sendiri
-
Sakura dalam Pelukan: Hangatnya Cinta Ayah yang Jarang Diceritakan
-
Ulasan Novel Petjah: Benang Takdir yang Membuka Luka di Masa Lalu
-
Sukses Lancar Rezeki: Nama Penuh Doa, Lirik Humor dan Musik yang Mendobrak!
-
Review Film Baaghi 4: Thriller Psikologis yang Jadi Komedi Tanpa Sengaja!
Terkini
-
Fenomena Maskot dalam Futsal: Sarana Pengekspresian Diri bagi Anak Muda
-
Daniel Craig akan Terus Main di Seri Knives Out, Asal Syarat Ini Dipenuhi
-
Belajar dari Cinta Kuya: 5 Cara Atasi Anxiety Attack Saat Dunia Terasa Runtuh
-
Ronde Keempat Babak Kualifikasi Piala Dunia 2026 dan Isyarat Kecurangan Tim Tuan Rumah
-
8+4+5 Program Ekonomi 2025: Strategi Baru Pemerintah Pulihkan Perekonomian