Ketika sedang naik pesawat, ada sebuah periode yang dinamakan critical eleven. Yakni menit-menit kritis ketika seluruh kru pesawat bekerja amat keras untuk meyakinkan bahwa pesawat tersebut bisa terbang dengan aman dan stabil.
Tiga menit setelah take off, dan delapan menit sebelum landing. Total waktu sebelas menit ini dinyatakan secara statistik sebagai waktu ketika delapan puluh persen kecelakaan pesawat terjadi. Dalam dunia penerbangan, critical eleven ini adalah momen paling menentukan kesuksesan dari penerbangan tersebut.
Dalam hidup ini, terkadang kita juga bisa terjebak dalam periode kritis yang amat menentukan. Salah satunya adalah saat mengambil keputusan, apakah kita mempercayai hidup kita untuk disandingkan dengan seseorang yang akan menjadi pasangan seumur hidup.
Hal itulah yang dialami oleh Anya dan Ale dalam novel berjudul 'Critical Eleven'. Novel yang ditulis oleh Ika Natassa ini menceritakan kisah romansa antara Anya dan Ale, dua orang yang bertemu secara tidak sengaja di pesawat.
Mereka terlibat dalam beberapa menit obrolan yang amat menyenangkan, lalu tak sadar bahwa ternyata pertemuan yang amat singkat itu sangat membekas di hati keduanya.
Momen-momen kritis pada perkenalan yang tak disengaja membuat mereka yakin untuk melanjutkan hubungan tersebut pada jenjang pernikahan.
Tapi momen kritis tersebut tidak hanya berhenti di situ. Sebagaimana rumah tangga lainnya, Anya dan Ale terlibat sebuah konflik yang amat besar. Konflik itu berujung pada keputusan, apakah Anya akan mempertahankan rumah tangganya, atau memilih untuk menyerah?
Sebagai pembaca, saya dibuat menebak-nebak dengan konflik macam apa yang dihadapi oleh pasangan ini. Sebab di awal novel, penulis menggambarkan mereka sebagai sepasang suami-istri yang memulai hubungan dengan amat manis dan romantis.
Bisa dibilang, Anya dan Ale adalah tipe relationship goals yang didambakan banyak orang. Dipertemukan dalam momen yang tidak disangka-sangka, terlibat dalam obrolan yang seru, dan keduanya sama-sama yakin bahwa mereka telah jatuh cinta dengan orang yang tepat.
Meskipun sekilas terlihat klise, tapi cara penulis membangun seluruh unsur cerita terasa mengalir dan pas. Dikemas dalam sudut pandang Anya dan Ale secara bergantian, kita diajak untuk ikut masuk dalam pergulatan batin yang dialami masing-masing tokoh.
Awalnya saya tidak habis pikir, kenapa sih Anya sengotot itu untuk membenci Ale yang pernah dicintai habis-habisan? Dan sebagaimana yang dijelaskan oleh Ale, barangkali tidak akan ada laki-laki yang sesabar dirinya menunggu seorang istri yang mau berdamai setelah diam selama berbulan-bulan.
Di hadapan keluarga, mereka tetap bersandiwara sebagai pasangan yang baik-baik saja agar tidak membuat siapapun khawatir. Tapi tanpa sepengetahuan keluarga, Anya membangun tembok yang semakin tinggi antara dia dan suaminya.
Hingga pada suatu titik, terungkaplah bahwa apa yang dialami oleh Anya adalah bentuk coping trauma dari duka yang amat mendalam saat mengetahui bahwa bayi yang telah dinanti-nantikan kehadirannya harus pergi di hari yang sama dengan kelahirannya.
Saat mengalami hal tersebut, baik Anya dan Ale berduka dengan cara mereka masing-masing. Namun salahnya, sebagai pasangan, mereka tidak saling menguatkan. Ale tidak sengaja menyalahkan Anya atas kelalaiannya menjaga buah hati mereka.
Satu ucapan Ale yang menyakitkan tersebut pada akhirnya membuat luka yang amat besar di hati Anya.
Semua itu make sense sih. Kalau saya berada di posisi Anya, barangkali juga akan memilih untuk menjaga jarak. Tapi di satu sisi, Ale juga pantas untuk dimaafkan karena perjuangannya yang begitu besar untuk kembali meluluhkan hati istrinya.
Secara umum, Critical Eleven adalah salah satu novel romansa yang membuat saya gagal move on. Penulis amat piawai dalam memainkan hati pembacanya. Kisah yang sangat romantis, tapi tidak lebay.
Jadi, bagi Sobat Yoursay yang ingin membaca novel romansa, karya dari Ika Natassa yang satu ini adalah salah satu novel yang menarik untuk disimak!
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Ironi Kasus Keracunan Massal: Ketika Petinggi Badan Gizi Nasional Bukan Ahlinya
-
Harga Buku Mahal, Literasi Kian Tertinggal: Alasan Pajak Buku Perlu Subsidi
-
Public Speaking yang Gagal, Blunder yang Fatal: Menyoal Lidah Para Pejabat
-
Headline, Hoaks, dan Pengalihan Isu: Potret Demokrasi tanpa Literasi
-
Polemik Bu Ana, Brave Pink, dan Simbol yang Mengalahkan Substansi
Artikel Terkait
-
Terjebak Reading Slump? Saatnya Kamu Harus Menjadi Seorang Mood Reader!
-
Apa Kabar Kasus Maut Pesta Pernikahan Anak Dedi Mulyadi? Kompolnas Turun Tangan
-
7 Fakta Gugatan Cerai Pratama Arhan pada Azizah Salsha: Puncak Drama Cinta Sepihak?
-
Perceraian Arhan-Azizah, Ujian Berat Hubungan Simbiosis Antara Sepak Bola, Politik dan Influencer?
-
Dugaan 'Cinta Bertepuk Sebelah Tangan' Terjawab? Gugatan Cerai Arhan ke Azizah Tuai Pro dan Kontra
Ulasan
-
Membaca Drama 'Genie, Make a Wish' Lewat Lensa Pengasuhan Kolektif
-
Review Film Ballad of a Small Player: Visual Ciamik tapi Kesan Akhir Kosong
-
The Principles Of Power: Rahasia Memanipulasi Orang Lain di Segala Situasi
-
Review Film Dongji Rescue: Kisah Heroisme Lautan yang Menggetarkan
-
Les Temptes de la Vie: Ketika Musik, Paris, dan Badai Hidup Menyatu
Terkini
-
Pesta Nikah Paling Heboh Berakhir dengan Cek Palsu 3 Miliar! Pengantin Pria Kabur Bawa Motor Mertua
-
Sosok Benjamin Paulus Octavianus, Dokter Spesialis Paru yang Jadi Wamenkes
-
Auto Ganteng Maksimal! 3 Ide Outfit Keren ala Mas Bree yang Bisa Kamu Tiru
-
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2025: Kesehatan Mental Hak Semua Orang
-
Harus Diakui, Timnas Indonesia Kerap Kehilangan Identitas Permainan di Era Patrick Kluivert