CERPEN: Sang Pembohong

M. Reza Sulaiman | Nur ilham
CERPEN: Sang Pembohong
Ilustrasi manipulasi dan pembohong. (Dok. Gemini AI/Nano Banana)

Telah tiba hari ketika akan kuceritakan sosok seorang pemuda yang sangatlah manipulatif. Hari ini adalah hari di mana Ia merasakan depresi yang sangat menyesakkan dalam dadanya. Karena sudah lima tahun atau lebih tepatnya sudah hampir memasuki semester sebelas dalam masa perkuliahannya dan belum menyematkan gelar sebagai seorang sarjanawan. Atau dapat dikata sebagai seorang calon sarjana.

Pada pagi ini, ketika duduk di teras kontrakan sambil membuka media sosial, seketika lewat dalam sebuah unggahan Instagram milik kampus. Ia melihat tenggat waktu pembayaran uang kuliah yang tinggal sebentar lagi. Sang manipulator ini sudah kehabisan alasan untuk mengatakan kepada kedua orang tuanya tentang pembayaran uang kuliah, meskipun kuliahnya tidak selesai-selesai.

"Alasan apa lagi ya, yang bagus untuk minta uang kuliah?" pikir sang Pemuda sambil menghisap sebatang rokok ilegal yang dibelinya kemarin sore.

Tetapi, berbohong bagi dia adalah sebuah kebiasaan yang dilakukannya hampir setiap saat. Seketika rasa sesak yang muncul tadi menghilang bagaikan hembusan asap rokok. Karena muncul lagi ide untuk berbohong untuk kesekian kali kepada orang tuanya.

Entah sudah berapa banyak kebohongan yang dilakukan oleh lelaki licik ini kepada keluarganya. Untuk menutupi fakta bahwa kuliahnya yang belum terselesaikan. Dia selalu menggunakan berbagai macam alasan, dari menyalahkan dosen pembimbing dan penguji sampai mengadakan kesibukan palsu agar terlihat produktif padahal hanya sebuah pelarian dari rasa malas untuk ke kampus. Sebenarnya untuk masalah keuangannya dapat ditutupi dengan melakukan kerja sampingan. Seperti menjadi cleaning service, ojol, dan apa pun itu selagi halal.

"Toh, cukup kebohonganku saja yang tidak bisa terkontrol. Jangan sampai juga makan makanan yang haram-haram," ucap sang Pemuda ketika sedang melamun memikirkan kejahatannya.

Iyap, sangatlah lucu ketika seorang pembohong atau manipulator ulung berbicara tentang kebaikan dan keburukan yang dilakukannya.

Sejauh yang kita lihat sampai saat ini, beberapa kebohongan besar yang dilakukan oleh si Licik ini kepada keluarganya cukup memprihatinkan. Pertama, ia berpura-pura tidak terbebani oleh jerih payah orang tuanya yang telah mengirimkannya ke bangku kuliah, menunjukkan ketidaksyukuran dan ketidakpedulian terhadap pengorbanan orang tua.

Kedua, ia menjadikan waktu kelulusannya sebagai teka-teki yang tidak pernah dijawab dengan jujur, menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan di antara keluarga. Ketiga, dan yang paling memprihatinkan, ia mengubur dalam-dalam fakta bahwa ia telah berbagi atap, bahkan ranjang, dengan seorang gadis yang tidak terikat dalam ikatan pernikahan dengannya, sebuah tindakan yang tidak hanya tidak bermoral tetapi juga berpotensi merusak reputasi keluarga. Kebohongan-kebohongan ini menunjukkan betapa besar ketidakjujuran dan ketidaksetiaan si Licik terhadap keluarganya.

Inilah kebohongan si Lelaki itu kepada orang tuanya. Entah apa yang bergulir di benaknya hingga lidahnya begitu kaku untuk mengucap kebenaran. Mungkin karena dusta sudah menjadi pakaian yang ia kenakan setiap hari—melekat, menempel, dan menyamarkan wajah aslinya. Ia tahu, setiap kebohongan yang ia lontarkan adalah utang yang suatu saat harus dibayar. Namun, alih-alih merasa takut, ia justru merasa nyaman dalam labirin kebohongan itu.

Setiap kata manis yang ia ucapkan hanyalah pintu menuju dusta berikutnya. Dan di balik setiap pintu, ada dirinya sendiri… tersenyum tipis, memelihara rahasia yang semakin busuk.

Namun, di balik senyum yang ia pajang dan kata-kata manis yang ia lontarkan, ada rasa getir yang perlahan menggerogoti dirinya. Ia tahu, setiap topeng yang ia kenakan hanya menunda saat di mana semua akan terkuak. Tetapi, rasa takut itu tidak cukup kuat untuk menghentikannya—atau mungkin, ia sudah terlalu jauh untuk kembali. Ia mulai mempertanyakan dirinya sendiri, meski tak pernah berani melakukannya terlalu dalam.

“Apa aku benar-benar peduli?” batinnya berbisik.

Sebab, jika ia mengakui kepedulian itu, ia juga harus mengakui kesalahannya. Dan mengakui kesalahan berarti menghancurkan semua ilusi yang selama ini ia rawat dengan susah payah.

Malam hari, saat semua orang terlelap, ia sering duduk sendiri di sudut kamar. Menatap kosong pada bayangannya di cermin, mencari sosok pekerja keras yang selalu ia ceritakan pada dunia—namun yang ia temukan hanyalah mata lelah seorang penipu yang tak tahu kapan harus berhenti.

Keluar dari kamar dan menarik kursi menuju teras rumah kontrakan. Saat ini, ia duduk sendirian di teras kontrakan, menatap langit cerah yang tidak tahu kenapa terasa muram. Angin berhembus pelan, namun tidak mampu mengusir rasa berat di dadanya. Segala konsekuensi yang selama ini ia abaikan kini datang bertamu—tanpa mengetuk, tanpa memberi waktu untuk bersiap.

Telepon dari orang tua, tatapan penuh curiga dari teman setongkrongannya. Semua seperti potongan puzzle yang menyusun satu kebenaran yang selama ini ia sembunyikan. Tidak ada lagi ruang untuk bersembunyi. Namun, yang paling menyakitkan bukanlah kemarahan orang lain, melainkan pertemuannya dengan dirinya sendiri—dengan wajah asli yang selama ini ia hindari. Wajah itu menatap balik dari dalam pikirannya, membawa semua kenangan kebohongan, hasrat, dan kelalaian. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar telanjang, tanpa topeng, tanpa alasan.

Dalam kebohongan ketiga yang diungkapkan. Bahwa wanita seatapnya. Iya, wanita itu yang awalnya percaya pada setiap kata manisnya, kini hanya menjadi bayangan dari dirinya yang dulu. Matanya tidak lagi berbinar, tawanya tidak lagi tulus. Ia terjebak dalam lingkaran manipulasi yang begitu rapat, hingga sulit membedakan mana cinta dan mana belenggu.

Sang Pemuda tahu betul kelemahan wanita itu. Ia memanfaatkannya seperti seorang dalang yang menggerakkan wayang, memastikan setiap gerakan sesuai kehendaknya. Cinta, janji pernikahan, rencana masa depan—semuanya hanya umpan, jebakan halus yang ia gunakan untuk memuaskan dahaga ego dan nafsu. Dan setiap kali wanita itu mencoba pergi, selalu ada kata-kata racun yang ia bisikkan: rasa bersalah, rasa takut, bahkan ancaman halus yang membuat wanita itu kembali tunduk.

Di sinilah letak keahliannya yang paling mematikan—bukan hanya merusak tubuh, melainkan juga merusak jiwa.

Namun, di balik setiap kemenangan kecil yang ia rasakan, ada sesuatu yang mulai tumbuh. Rasa cemas. Bayangan wajah wanita itu—pucat, kosong, dan penuh luka tak kasatmata—mulai menghantui tidurnya. Dan entah ia sadari atau tidak, ini adalah awal dari runtuhnya permainan yang selama ini ia kuasai.

Berbohong pada diri sendiri adalah puncak dari kehancuran moral—saat seseorang mulai percaya pada dusta yang ia ciptakan sendiri. Di titik ini, sang Pemuda kita bukan lagi sekadar pembohong, melainkan seorang arsitek realitas palsu. Ia membangun dinding tipis dari ilusi, menutupi setiap retakan kenyataan, dan memaksa dirinya tinggal di dalamnya.

Ia berkata pada dirinya bahwa semua ini demi “bertahan hidup”, padahal yang sebenarnya ia lakukan adalah melarikan diri dari tanggung jawab. Ia meyakinkan hatinya bahwa semua dosa akan dimaafkan seiring waktu, padahal ia tidak pernah benar-benar berniat menebusnya.

Namun, semakin ia mencoba menutupi kebusukan itu, semakin bau busuknya merembes keluar. Orang-orang di sekitarnya mulai merasakan ada yang janggal—tatapan kosong, senyum yang terlalu dipaksakan, dan kata-kata yang semakin sulit dipercaya. Dan di dalam kepalanya, suara kecil yang selama ini ia tekan mulai berbicara lebih keras. Sebuah bisikan yang mengoyak pertahanannya:

"Kapan semua ini akan berhenti? Atau… kau memang tak berniat berhenti?"

Berani membohongi diri sendiri—itulah dosa terbesar. Sebab saat dusta itu sudah menjadi bagian dari napas dan darah, tak ada lagi garis yang memisahkan kebenaran dan kebohongan. Segala topeng yang kupakai hanyalah perpanjangan dari kebohongan yang telah lama kukunci di dalam diriku.

Kini aku sadar, sang Pembohong yang coba kuceritakan sejak awal… bukanlah orang lain.

Sang Pembohong dan Sang Manipulator adalah AKU.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak