"Ada terowongan tua di dekat sini.”
“Hah?” Aku mencoba mencerna kalimat nyeleneh Lek Slamet. “Terowongan apa, Lek? Sarang kodok?”
“Kamu itu lho, dibilangi orang tua kok ngece!”
Aku tertawa keras. “Panjenengan juga aneh. Kalau memang ada terowongan di dekat sini, pasti kelihatan.”
“Masalahnya, itu terowongan gaib, Nduk.” Lek Slamet kemudian terpekur. “Kucari selama ini belum ketemu.”
Aku sendiri bukanlah seorang yang langsung percaya omongan ‘orang pintar’ macam Lek Slamet. Bukan juga orang yang nggak mempercayai adanya begituan. Harus mengalaminya sendiri, barulah aku akan percaya.
“Konon, terowongan itu dijaga oleh sesuatu. Dan dia….”
Aku nggak lagi mengindahkan omongan Lek Slamet yang terlalu fiktif. Memang beberapa omongannya nyata, seperti tempat-tempat wingit yang terbukti bikin bulu kuduk berdiri. Tapi, nggak lebih dari itu.
“Wah, tempat macam apa ini?” gumamku suatu waktu, tatkala menemukan lorong yang diapit oleh dua tembok tinggi.
Tembok di sisi kiri terbuat dari batu bata merah, yang sepertinya lebih tua dari tembok batako di sisi kanan. Meski begitu, keduanya terasa sama-sama tua, tampak dari kelembaban dan lumut-lumut yang subur. Berpadu dengan tanaman paku-pakuan dan suplir yang cantik abis. Kala mendongak, aku masih bisa melihat langit dengan mendung tipis.
Kususuri lorong itu yang makin lama makin gelap, karena bagian atas ternyata tertutup oleh atap genteng. Sekilas, tempat ini mirip dengan terowongan. Lambat laun, sinar matahari hilang total dan berganti oleh nyala-nyala lampu minyak.
“Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?”
Aku menjingkat kaget saat berhadapan dengan seorang perempuan berkulit hitam, dengan mata berbinar dan bibir merah menyala. Dia tampak duduk di belakang etalase yang memajang berbagai aksesori manik-manik, dan kain-kain cantik. Bahkan ada segala macam jilbab.
“Halo? Kamu berminat membeli aksesori?” tanyanya lagi.
“Uhm, boleh saya melihat-lihat dulu?”
“Boleh.”
Aku mengamati aksesori yang dipajang dan terpukau dengan beragam modelnya. Selain manik-maniknya yang unik, si penjual juga ramah dan sopan.
“Ada keramaian ya di dalam sana?” tanyaku sewaktu mendengar riuh suara orang-orang.
Perempuan tadi tersenyum, “Sepertinya sedang ada acara di belakang. Kajian mungkin?”
Aku penasaran. Setelah pamit pada perempuan tadi–tanpa membeli–aku segera menyusuri terowongan dengan cahaya lampu-lampu minyak. Cukup berjalan beberapa menit, hingga tiba di sebuah tanah lapang yang dilindungi oleh rimbun dedaunan. Dimana ada banyak orang berkumpul dan duduk tenang.
Para laki-laki mengenakan celana kain hitam dengan atasan bermotif garis berwarna hitam dan coklat, sedangkan para perempuan mengenakan kebaya dan jarik. Ada satu laki-laki yang berdiri di depan sana, sedang berbicara tentang topik yang nggak kupahami.
“Hawanya sejuk juga,” gumamku yang asyik menikmati pemandangan.
Tempat ini mirip lanskap hutan heterogen, dengan beberapa spesies tumbuhan. Ada mahoni, wadang, waru gombong, sengon putih, sonokeling, pohon nangka, pohon jambu dersono, pohon jeruk bali, bahkan pohon buah salju.
“Mbak, kok bisa kesini? Tadi lewat mana?” tanya seorang perempuan muda berkebaya cokelat.
“Saya lewat depan, Mbak. Lewat terowongan,” jawabku.
Dia mengangguk paham. “Owalah. Berarti lewat toko aksesori?”
“Betul.”
Air mukanya tampak lesu. “Saya dengar, aksesori disana cantik-cantik. Sekalipun bukan emas dan perak, tapi manik-maniknya bagus dan ada yang dari kerang. Kain-kainnya pun bagus-bagus.”
“Betul, Mbak. Harganya juga murah meriah kok.”
“Saya ndak bisa kesana,” tuturnya sedih. “Ndak ada jalan untuk menyeberang.”
“Maksudnya?” tanyaku bingung. “Kan tinggal jalan ke depan sana. Toh jalannya cuman satu itu, Mbak. Lewat terowongan.”
Perempuan tadi tersenyum simpul. Bersamaan dengan orang-orang yang membubarkan diri karena acara ternyata sudah selesai. Sejauh kuperhatikan, mereka berpencar ke segala penjuru kecuali arah menuju terowongan.
Karena orang-orang sudah pergi, aku pun memutuskan untuk kembali. Kembali masuk ke dalam terowongan dan bertemu penjual aksesoris yang tersenyum ramah.
“Terkadang, apa yang tidak terlihat belum tentu tidak ada,” ucapnya sebelum mempromosikan sebuah kain bordiran bunga.
Kala aku mencoba bernego, pundakku ditepuk dan kesadaran menghantam bahwa aku terbaring di tempat tidur. Dengan ibu yang membawa dua cangkir kopi hitam.
“Ini sudah pagi. Kamu ndak bangun tah? Sini ngopi dulu.”