Pengabdi Setan 2: Communion adalah film horor Indonesia yang diproduksi oleh Rapi Films dan disutradarai oleh Joko Anwar, peraih Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2015 kategori Sutradara Terbaik untuk film A Copy of My Mind. Film yang diproduseri oleh Gope T. Samtani dan Tia Hasibuan tersebut merupakan film Indonesia dan Asia Tenggara pertama yang menjalani proses digital remastering (DMR) dengan teknologi IMAX yang dikenal mampu menghasilkan detail suara yang lebih tajam dan kualitas suara yang lebih jernih.
Film yang berdurasi selama 119 menit tersebut telah ditayangkan di seluruh bioskop Indonesia sejak 4 Agustus 2022. Tidak hanya penonton tanah air, para penonton dari dua negara tetangga, Malaysia dan Singapura, juga diberi kesempatan merasakan kengerian film tersebut sejak 11 & 12 Agustus 2022.
Berlatar waktu tahun 1986, Pengabdi Setan 2: Communion melanjutkan kisah keluarga Suwono yang beranggotakan Rini (Tara Basro), Bapak yaitu Bahri (Bront Palarae), Toni (Endy Arfian), dan Bondi (Nasar Anuz), yang menjalani kehidupan mereka di rumah susun (rusun) Mandara yang terletak di tepi pantai di wilayah Jakarta Utara. Sembari menjalani kehidupan baru bersama dengan para penghuni rusun lain, mereka masih berjuang melupakan peristiwa kelam lima tahun lalu yang merenggut nyawa Ibu, yaitu Mawarni (Ayu Laksmi), serta Ian (Muhammad Adhiyat), adik bungsu mereka yang telah menghilang tanpa jejak.
Agar dapat membiayai kebutuhan sehari-hari, Rini bekerja sebagai karyawan pabrik mebel dengan gaji murah, sementara Bapak bekerja serabutan dengan membawa koper hitam besar setiap hari. Adanya tawaran beasiswa melanjutkan pendidikan tinggi ke Belanda oleh manajemen perusahaan mendorong Rini bergegas mengambil kesempatan tersebut untuk melepaskan mereka dari jeratan kemiskinan. Namun, menjelang keberangkatan, terjadi peristiwa tragis yang membuat beberapa penghuni rusun tewas mengenaskan.
Banjir rob yang diakibatkan oleh badai besar merendam lantai dasar rusun berakibat pada matinya arus listrik secara total dan menjebak keluarga Suwono beserta penghuni lain yang bertahan di dalamnya. Pada malam penuh kegelapan tersebut, keluarga Suwono harus kembali berjuang untuk menahan diri dari rasa takut dan berpacu dengan waktu menyelamatkan diri dari kejaran Ibu atau Raminom dan anggota sekte pemujaan setan yang mengincar nyawa mereka.
Penulisan alur cerita mengadopsi gaya penulisan Three Act Structure
Alur cerita yang digunakan dalam Pengabdi Setan 2: Communion mengadopsi gaya penulisan naskah Three Act Structure yang umum digunakan oleh penulis naskah film horor Barat, seperti The Exorcist (1973), semesta The Conjuring, dan semesta Insidious yang menggambarkan ritme cerita naik dan turun layaknya wahana roller-coaster di taman hiburan.
Sebagai orang yang menulis naskah film ini, Joko Anwar cerdik merangkai dialog dan perpindahan adegan (sequence) antara adegan satu dengan yang lain dengan efektif, sehingga menciptakan kemampuan storytelling yang kuat, berwarna, dan mudah dipahami oleh banyak orang.
Opening cerita spektakuler, tetapi memudar ketika mengalami perubahan subplot cerita
Opening atau pembuka cerita diawali dengan Heru Kusuma (Rukman Rosadi), seorang polisi dan mantan pengikut sekte pemujaan setan Raminom, mengajak Budiman Syailendra (Egi Fedly), wartawan majalah Maya, untuk meliput temuan langka berupa puluhan pocong yang bersujud menyembah foto Ibu atau Raminom di sebuah gedung tua. Ketakutan semakin terasa ketika temuan tersebut diprediksi dapat menjadi headline berita yang mengancam kesuksesan sebuah perhelatan acara besar yang sangat mempertaruhkan citra pemerintah Indonesia di dunia internasional pada saat itu. Pada titik ini, Joko Anwar mampu memainkan alam bawah sadar pikiran penonton yang membuka cerita secara spektakuler dan mencengangkan, sehingga mengundang rasa penasaran dan menguras pikiran.
Sayangnya, elemen tersebut semakin memudar tatkala subplot cerita berubah menjadi cerita sederhana yang menggambarkan dinamika keluarga kelas menengah ke bawah Indonesia pada umumnya, bahkan sampai dengan saat ini. Perjuangan berat Rini mengatasi himpitan ekonomi dan sulitnya memperoleh pekerjaan yang layak, prasangka buruk orang yang iri terhadap kesuksesan yang diraih, serta perasaan was-was yang terpancar dari wajah Rini ketika berinteraksi dengan penghuni rusun yang misterius dengan segala perangai dan watak mereka mampu digambarkan oleh penampilan apik Tara Basro. Meski begitu, tidak sedikit juga hal tersebut dapat memicu perasaan iba terhadap kehidupan keluarga Rini yang serba kurang.
Pembabakan cerita variatif dengan ritme naik dan turun
Babak pertama cerita menyuguhkan drama keluarga yang biasa dan cenderung membosankan untuk diikuti. Meskipun tidak mengubah tujuan cerita secara keseluruhan, perubahan kesan yang terjadi di dalam alur cerita itu sempat memadamkan ekspektasi penonton yang menginginkan babak pertama cerita langsung diisi oleh kengerian yang kental dengan nuansa tegang.
Ritme cerita mulai naik secara perlahan ketika memasuki babak kedua film. Joko Anwar lihai dalam membingkai babak kedua dengan narasi cerita yang kuat dan tidak membuat penonton terasa jenuh. Adegan jatuhnya elevator rusun yang dramatis dan adegan mati listrik total (blackout) yang diikuti oleh keluarnya para hantu memperkuat pondasi storytelling narasi yang memicu adrenalin, sehingga menimbulkan rasa penasaran tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
Pada babak kedua, harus diakui bahwa mayoritas adegan hanya menampilkan jumpscare tiada henti yang dibalut dengan gelapnya malam dan suasana rusun yang gelap dan angker karena mati listrik total, di mana itu sukses membuat bulu kuduk berdiri merinding ketakutan, bahkan sampai sulit untuk membuka mata serta telinga secara utuh.
Walau begitu, racikan tangan dingin dan daya kreativitas Joko Anwar yang out of the box dengan menyisipkan humor ala anak Gen Z dan tindakan karakter pendukung yang bodoh dan tidak logis mampu menurunkan tensi ketegangan yang dirasakan, sehingga penonton diberi kesempatan untuk bersantai sejenak sebelum kembali ditakuti oleh adegan jumpscare selanjutnya.
Sayang beribu sayang, sutradara yang juga menyutradarai film Gundala (2019) tersebut gagal dalam membuat resolusi penyelesaian cerita yang logis dan memuaskan yang mengakibatkan babak ketiga kembali membosankan. Aksi heroik Budiman yang tiba-tiba datang menyelamatkan Rini, Toni, dan Bondi dari tawanan anggota sekte ditampillkan dengan sangat cepat, sehingga penonton tidak dapat menangkap momentum ketegangan yang digelorakan. Hal ini menjadikan resolusi cerita yang ditawarkan terasa mengambang dan ritme cerita turun sangat tajam.
Unsur-unsur horor wahana dan horor bermakna mampu dirangkai dengan sangat apik
Berkat kepandaian Joko Anwar dalam memadukan antara horor wahana yang identik dengan kengerian serta keseraman dan horor bermakna yang lebih menekankan pada ketenangan dan rasionalitas ilmiah, Pengabdi Setan 2: Communion menyajikan keseraman yang tidak kaleng-kaleng.
Efek kengerian dari jumpscare yang ditampilkan oleh para hantu yang berwajah seram dan muncul dari berbagai sudut dapat dirangkai sangat apik dengan tindakan karakter yang rasional dan mencoba menyelidiki hal yang janggal dan luput dari pandangan mata dengan hati dan pikiran tenang.
Mayoritas karakter tidak mengalami proses pembangunan kepribadian karakter yang berarti
Setali tiga uang, Joko Anwar tidak terlalu menggali lebih dalam kepribadian mayoritas karakter yang membuat proses pembangunan kepribadian karakter tidak terlihat sama sekali. Kendati pun demikian, bukan berarti dirinya tidak peduli terhadap pengembangan kepribadian karakter. Hanya saja, sutradara peraih Piala Citra FFI 2020 kategori Sutradara Terbaik untuk film Perempuan Tanah Jahanam tersebut terlalu fokus membangun hal-hal baru di dalam dua karakter penting saja, yakni Rini dan Budiman, tanpa menambahkan hal-hal baru di dalam diri karakter lain.
Berbeda dengan film pertama, karakter Rini semakin menunjukkan kedewasaan dalam bersikap. Joko Anwar sukses menguji pendirian Rini dengan membuatnya memilih satu dari dua pilihan mengenai apakah dirinya harus mengorbankan nyawa seluruh keluarganya dan menjadi budak Raminom atau tetap berjuang melawan Raminom.
Secara penampilan fisik, karakter Budiman memang tidak begitu banyak mengalami perubahan sejak dari film pertama. Meski begitu, Joko Anwar pandai menyampaikan keluh kesah para wartawan dan jurnalis yang setiap harinya bekerja tidak kenal lelah mengungkap kebenaran dibalik suatu peristiwa melalui penggambaran kepribadian Budiman yang ulet dan gigih mencari informasi tentang sekte pemujaan setan Raminom secara mendalam.
Karakter pendatang baru merefleksikan kondisi kaum perempuan yang rentan terhadap tindakan pelecehan seksual
Hal yang menarik dalam film Pengabdi Setan 2: Communion adalah adanya karakter pendatang baru yang merupakan perempuan muda, yaitu Tari Daryati, salah satu penghuni baru rusun yang berhasil menarik perhatian Toni. Tidaklah mudah bagi aktor atau aktris untuk menjiwai karakter yang berpenampilan seksi, melakoni pekerjaan yang rentan dengan aksi pelecehan seksual, ditambah oleh trauma berat terhadap pengalaman pahit di masa lalu.
Namun, kecerdasan Ratu Felisha dalam memahami pengarahan akting yang detail dari Joko Anwar mampu menghidupkan karakter Tari sebagai karakter wanita seksi, tapi tangguh yang siap melibas setiap pria yang melakukan catcalling terhadap dirinya, walau takut terhadap bayangan diri di masa lalu yang menghantuinya setiap saat. Keberanian Tari terhadap pria yang selalu menggodanya tersebut menambah ketertarikan kaum hawa untuk menonton film ini, di mana dapat menjadi referensi tindakan untuk berani melawan segala bentuk tindakan pelecehan seksual.
Angle kamera yang tepat menambah daya tarik film
Sinematografi yang diarahkan oleh Ical Tanjung juga menambah daya tarik film Pengabdi Setan 2: Communion. Angle kamera bergaya Aerial Shot atau Bird’s Eye View yang digunakan mampu mengabadikan suasana rusun yang remang-remang dan kumuh dan sukses menimbulkan kesan angker di dalam mata penonton.
Tidak hanya itu, angle Eye View yang merekam wajah karakter dengan jarak yang sejajar dengan penonton juga mampu menangkap setiap emosi yang ditampilkan dari raut wajah karakter, terutama ketika adegan jumpscare yang memaksa karakter berhadapan langsung dengan hantu.
Latar musik berkonsep Keppler Effect menambah nuansa kengerian film
Nuansa kengerian film horor tidak terasa kalau latar musik yang digunakan tidak menimbulkan perasaan was-was dan merinding. Latar musik yang digubah oleh Aghi Narottama, Bemby Gusti, dan Tony Merle memperkaya pengalaman menonton film Pengabdi Setan 2: Communion, di mana penonton tidak hanya disuguhkan visual hantu yang menyeramkan dan latar tempat yang gelap, melainkan juga latar musik dengan suara yang mampu meresahkan pikiran sampai pada titik terbawah.
Konsep Keppler Effect yang diadopsi ke dalam latar musik mampu menyatukan instrumen musik dan suara manusia. Tidak hanya itu, kombinasi musik tersebut terus bergerak dan berdistorsi mengelilingi orbit melingkar, seolah-olah mengitari kumpulan energi gelap sebagai pusat kekuatan yang besar. Kekuatan besar itulah yang membuat musik terus terngiang-ngiang di dalam pikiran dan terus membekas di kepala, sehingga sulit untuk dihapus. Hal ini tentu saja dapat menambah nuansa kengerian film disamping adegan jumpscare.
Pesan moral inspiratif dan menggugah hati tentang keberanian diri yang kuat
Umumnya, sedikit cerita film horor yang menyisipkan pesan moral inspiratif dan menggugah hati penonton. Tapi, anggapan ini berhasil dipatahkan oleh film Pengabdi Setan 2: Communion. Setelah diulik lebih dalam, sebenarnya ada satu pesan krusial yang ingin disampaikan oleh film ini, yaitu pentingnya menanamkan prinsip memegang teguh pendirian yang benar dan keberanian yang kuat di dalam diri.
Rasa teguh pendirian dan keberanian kuat tersebut terlihat dari tindakan Rini yang berani melawan Ian, di mana sebelumnya Ian sempat mengiming-imingi Rini untuk bergabung dengan sekte dan diberikan imbalan berupa dihapuskannya segala memori buruk masa lalu yang hanya berisi nestapa hidup.
Dari adegan itu saja, film ini mengajarkan pesan berharga bahwa sudah sepatutnya kita perlu menanamkan keberanian yang kuat di dalam diri untuk melawan segala kenikmatan semu yang dibungkus dengan janji-janji surga yang manis dan menjanjikan dapat mengatasi berbagai masalah hidup dengan cepat dan tuntas. Padahal, bisa jadi kenikmatan semu tersebut menjadi racun berbisa yang dapat menghancurkan diri sendiri dan orang-orang terdekat kita secara perlahan-lahan.
Itulah ulasan penulis tentang film Pengabdi Setan 2: Communion ini. Meski masih ditemukan beberapa kekurangan, film ini mendatangkan perspektif segar yang memberikan warna baru terhadap dunia perfilman Indonesia, khususnya film horor yang identik dengan jumpscare non-stop.
Kualitas alur cerita yang disajikan mampu memadukan unsur riasan prostetik wajah hantu yang seram, jumpscare tiada henti, dan gelapnya latar tempat dengan nilai-nilai cerita yang mengedepankan rasionalitas berpikir. Fillm ini mampu mengajak penonton untuk berpikir analitis dan kritis tentang bagaimana sebuah kisah sederhana dapat muncul menjadi cerita menyeramkan dan seberapa kuat keyakinan terhadap prinsip dan upaya karakter untuk mengatasi konflik yang menyandera diri mereka.