Kekerasan Seksual dalam Film 27 Steps of May dan Film Hope

Hernawan | Dyah Ayu Millania
Kekerasan Seksual dalam Film 27 Steps of May dan Film Hope
Poster film 27 Steps of May. (Instagram/rayyamakarim)

Film 27 Steps of May menyoroti tentang seorang gadis yang menjadi korban kekerasan seksual, dan seorang ayah yang selalu menyalahkan dirinya. Film yang disutradari oleh Ravi Bharwani ini menampilkan trauma psikologi akibat kejadian pemerkosaan yang dialami tokoh May saat umur 14 tahun.

Film ini menceritakan perjuangan May untuk lepas dari trauma-trauma yang dialaminya akibat kejadian tragis itu. Trauma itu membuat May yang dulunya ceria menjadi pribadi yang sangat murung. May juga menderita OCD (Obsessive Compulsive Disorder) atau sejenis gangguan mental. Selain itu, May juga selalu mengenakan pakaian yang berwarna kalem atau pastel karena warna mencolok akan mengingatkannya dengan kejadian itu.

Sifat May berubah drastis terutama jika bertemu dengan hal-hal yang akan mengingatkannya pada kejadian itu. May sangat menutup dirinya dengan lingkungan, tidak mau berkomunikasi dengan orang lain termasuk ayahnya, dan tidak mau bersentuhan dengan laki-laki.

Kejadian serupa juga dialami oleh tokoh Im So-won pada film Hope dari Korea Selatan karya sutradara Lee Joon-ik. Gadis berusia delapan tahun ini menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual yang cukup tragis. Akibat kejadian tersebut, So-won harus melakukan operasi karena alat kelamin dan anusnya mengalami kerusakan yang fatal.

Trauma yang dialami So-won juga tidak jauh berbeda dengan yang dialami oleh May. So-won enggan berbicara dan bertemu dengan laki-laki dewasa, bahkan ayahnya sendiri. Untuk bisa bertemu dan berkomunikasi dengan So-won, Dong Hoon (ayahnya) harus mengenakan kostum kartun kesukaan anaknya.

Kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual bukan suatu objek yang sulit ditemukan, sebaliknya mereka adalah dua permasalahan yang sangat dekat dengan kehidupan kita. Di Indonesia sendiri, kasus kekerasan seksual setiap tahunnya mengalami peningkatan. Korbannya bukan hanya orang dewasa namun juga merambah ke remaja, anak-anak bahkan balita.

Seperti halnya yang terjadi dalam film 27 Steps of May korbannya adalah seorang remaja, sedangkan pada film Hope korbannya adalah seorang anak-anak. Fenomena kekerasan seksual terhadap anak-anak dan remaja semakin sering terjadi dan menjadi global hampir di setiap negara.

Kekerasan seksual pasti akan menimbulkan dampak traumatis baik pada anak, remaja, maupun orang dewasa. Namun, kasus kekerasan seksual sering tidak terungkap karena adanya penyangkalan terhadap peristiwa kekerasan seksual yang terjadi. Terlebih jika kekerasan seksual terjadi pada anak-anak atau remaja dengan usia minor.

Dampak kekerasan seksual yang terjadi ditandai dengan adanya powerlessness atau si korban merasa tidak berdaya untuk mengungkap peristiwa kekerasan seksual tersebut. Tindakan kekerasan seksual memberikan dampak emosional seperti mengalami stress, goncangan jiwa, adanya perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, rasa takut berhubungan dengan orang lain, dan sebagainya. Hal-hal tersebut persis seperti apa yang dialami oleh tokoh May dan Sun-wo.

Pada film 27 Steps of May, tokoh May tidak mencoba untuk mengomunikasikan atau menceritakan mengenai peristiwa yang menimpa dirinya kepada ayah atau orang-orang terdekatnya, sedangkan Sun-wo bertindak sebaliknya. Sun-wo sempat berbicara kepada ayahnya mengenai peristiwa yang dialaminya. Ia menjelaskan ciri-ciri sang pelaku dan meminta ayahnya untuk segera menangkap orang tersebut. 

Proses penyembuhan dan penerimaan diri antara May dan Sun-wo juga berbeda. May mulai berubah sejak munculnya pesulap yang May temui dari lubang tembok kamarnya. Anggapan bahwa pesulap merupakan tokoh asli dan adegan yang berjalinan antara May dan pesulap dapat dimaknai sebagai seorang korban yang membutuhkan bantuan seseorang yang dipercaya untuk menumpahkan rasa traumanya.

Melalui adegan pesulap dan May dapat disimpulkan bahwa tekad untuk keluar dari ruang gelap membutuhkan peran utama dari korban itu sendiri. Maksudnya, korban yang mengalami trauma menjadi penentu dirinya sendiri apakah dirinya akan tetap pada posisi itu atau melawannya. Dalam film tersebut, May akhirnya berani melawan bayang-bayang kelam dari dalam dirinya. May berhasil sembuh dari traumanya yang ditandai dengan dirinya yang berani memeluk sang ayah dan tidak mengurung dirinya di rumah lagi.

Lalu, tokoh Sun-wo dalam mengatasi traumanya dibantu oleh yayasan Sunflower dan orang-orang di sekitarnya seperti keluarga. Pada akhir cerita tokoh Sun-wo juga berhasil sembuh dari traumanya, ditandai dengan keberanian dirinya untuk tetap melanjutkan hidupnya dengan bersekolah.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak