Kejahatan melawan kebaikan sudah menjadi sebuah premis cerita yang umum. Biasanya akan berakhir dengan kemenangan dari pihak yang baik. Sebuah cerita yang dikemas dengan ending yang sudah pasti diketahui oleh semua orang, bawah pihak yang jahat akan kalah pada akhirnya. Premis seperti itu yang awalnya akan terbaca saat awal menonton The School for Good and Evil (2022). Sayangnya, film ini tidak semata membawa premis yang umum diketahui oleh orang. Bagaimana jika tidak semua penjahat itu jahat dan pahlawan itu baik?
Film adaptasi novel karangan Soman Chainani ini bercerita tentang sepasang sahabat bernama Sophie (Sophia Anne Caruso) dan Agatha (Sofia Wylie) yang tinggal di sebuah desa bernama Gavaldon. Oleh orang desa mereka berdua dianggap aneh dan dikucilkan. Agatha sendiri juga dianggap sebagai penyihir di desa itu sehingga orang-orang tidak mau mendekatinya. Hanya Sophie seorang yang mau menjadi sahabatnya.
Sophie sebagai seorang gadis desa memiliki impian untuk keluar dari kehidupannya yang dianggap membosankan dan biasa-biasa saja. Berbeda dengan Agatha, ia hanya ingin hidup normal bersama orang-orang yang ia sayangi yaitu Ibunya dan Sophie. Suatu hari, Sophie mendengar ada sebuah sekolah tempat kebaikan dan kejahatan yang berisi calon-calon penjahat dan pahlawan belajar. Terbersit sebuah ide untuk menemukan sekolah tersebut untuk keluar dari kehidupannya yang suram.
Sebagai sahabatnya, tentu saja Agatha merasa hal itu hanya dongeng dan bukan sebuah ide yang baik. Ternyata apa yang diharapkan oleh Sophie terwujud. Ia dibawa oleh makhluk misterius menuju sekolah kebaikan dan kejahatan bersama Agatha yang ikut terseret. Sayangnya, apa yang diharapkan tidak sepenuhnya terkabul. Sophie malah masuk ke sekolah kejahatan sedangkan Agatha masuk ke sekolah kebaikan.
Di luar ketidaksetujuan mereka berdua ternyata ada maksud tersembunyi dibaliknya. Rafal (Kit Young) sudah menunggu hal ini terjadi bertahun-tahun silam. Ia memiliki satu tujuan untuk menghancurkan keseimbangan kebaikan dan kejahatan. Melalui Sophie dan Agatha ia berencana mewujudkan tujuannya tersebut. Akankah Agatha dan Sophie bisa mengatasi ancaman bahaya ini?
The School for Good and Evil (2022) yang disutradarai oleh Paul Feig jelas-jelas menggunakan premis awal kebaikan melawan kejahatan. Walaupun mudah ditebak ada pesan tersendiri dari film ini bahwa manusia itu pasti ada sisi baik dan buruknya karena manusia itu adalah makhluk yang kompleks. Manusia tidak bisa ditentukan hanya hitam dan putih.
Dari segi cerita, persahabatan antara Agatha dan Sophie dibawakan secara apik dengan kedekatan keduanya. Hal ini juga berkat akting keduanya yang piawai. Sophia Anne Caruso sebagai Sophie mampu membawakan karakter Sophie yang ceria dan ambisius ketika menjadi gadis desa namun berubah secara drastis menjadi licik dan sensual ketika berada di sekolah kejahatan. Sofia Wylie sebagai Agatha tak kalah piawai dalam menampilkan karakternya sebagai perempuan yang tangguh.
Film yang juga didukung aktor papan atas seperti Laurence Fishburne dan Michelle Yeoh ini juga bakal memanjakan mata penontonya dengan tampilan kostum yang ciamik. Baju-baju ala negeri dongeng dengan gaun panjang berbunga-bunga dan setelan ala pangeran menjadi ciri khas sekolah kebaikan. Namun tak hanya itu saja, detail kostum sekolah kejahatan tak kalah menarik dengan pakaian serba hitamnya. Tentu saja, kostum Sophie di sekolah kejahatan yang paling menarik mata.
Terlepas dari alurnya yang mudah tertebak film yang meraih rating 5,9 di IMDb ini tetap menjadi film yang layak ditonton. Apalagi bagi yang menyukai film bergenre fantasi dengan unsur sihir. Film ini dapat ditonton pada layanan streaming Netflix mulai tanggal 19 Oktober kemarin.
Video yang Mungkin Anda Suka.