Film adalah karya visual yang mampu menggugah emosi dan pikiran penontonnya. Namun, dalam dinamika industri film Indonesia, terkadang karya-karya berkualitas nggak selalu mendapat perhatian yang seharusnya.
Salah satu contohnya adalah film "The Architecture of Love", yang kendatipun diadaptasi dari novel best seller, tapi masih kalah pamor dari film-film horor pesaingnya.
"The Architecture of Love", bisa juga disebut (TAOL), ialah film drama romantis yang disutradarai Teddy Soeriaatmadja dan dibintangi oleh: Putri Marino, Nicholas Saputra, Jerome Kurnia, Jihane Almira, dan Omar Daniel, sudah tayang sejak 30 April 2024. Film ini merupakan adaptasi dari novel dengan judul yang serupa karya Ika Natassa.
Sebelum diangkat menjadi film, novel itu telah meraih kesuksesan besar di pasar buku Indonesia, dengan basis penggemar yang kuat. Nah, oleh karena itu, dengan label best seller dan banyaknya penggemar, hal demikian jelas menunjukkan potensi besar bila diadaptasi menjadi film.
Namun, sayang sekali, meskipun memiliki basis penggemar yang solid, "The Architecture of Love" harus bersaing dengan tren dominasi film horor di Indonesia.
Pada saat film tersebut tayang di bioskop, dua film horor pesaingnya, "Badarawuhi di Desa Penari" dan "Siksa Kubur", sedang sangat viral dan menjadi perbincangan hangat di kalangan penonton.
Hal ini menjadi tantangan besar bagi film drama romantis, "The Architecture of Love", untuk menarik perhatian penonton yang tengah terhipnotis oleh ketegangan dan adrenalin dari film horor.
"The Architecture of Love" bak terseok-seok dalam enam hari penayangannya. Mengutip dari laman Instagramnya, jumlah penonton film ini baru mencapai 365.195, pada Senin (6/5/2024). Angka tersebut masih kalah jauh jika dibandingkan dengan jumlah penonton yang dicapai oleh film-film horor pesaingnya yang masih viral hingga sekarang.
Kesenjangan antara popularitas novel dan performa film adaptasinya di bioskop tentunya fenomena yang menarik untuk dianalisis. Mengejutkan, ya! Memiliki basis penggemar dan novelnya best seller pun, adaptasi "The Architecture of Love", tetap nggak mampu menarik jumlah penonton yang diharapkan.
Faktor-faktor seperti timing perilisan yang hampir bersamaan dengan film-film horor populer, kurangnya promosi yang memadai, dan preferensi pasar yang berubah-ubah, mungkin menjadi penyebab utama dari kesenjangan ini.
Meskipun menghadapi tantangan dalam persaingan dengan genre yang lebih populer, harapan tetap ada untuk "The Architecture of Love" dan film-film sejenisnya.
Industri film Indonesia memiliki potensi besar untuk terus berkembang dan memberikan ruang bagi berbagai genre film untuk bersaing secara adil.
Semoga film-film seperti "The Architecture of Love" tetap mendapat apresiasi yang pantas dari penontonnya, dan industri film Indonesia terus berkembang dalam memproduksi karya-karya berkualitas.
Kamu sudah nonton belum? Buruan ke bioskop sebelum filmnya turun layar!
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS