Avatar: Fire and Ash Debut 70% di Rotten Tomatoes, Terendah di Trilogi

Sekar Anindyah Lamase | Anggia Khofifah P
Avatar: Fire and Ash Debut 70% di Rotten Tomatoes, Terendah di Trilogi
Avatar: Fire and Ash (movietalkies.com)

Film ketiga dari waralaba Avatar garapan James Cameron akhirnya tayang di bioskop akhir pekan ini, dan ulasan-ulasan pertamanya sudah mulai bermunculan secara online.

Berjudul Avatar: Fire and Ash, sekuel ini kembali mengajak penonton ke Pandora untuk mengikuti petualangan baru Jake Sully bersama keluarga Na'vi-nya.

Film ini kembali hadir sebagai tontonan 3D spektakuler, lengkap dengan aksi dan efek visual khas yang hanya bisa disajikan oleh Cameron. Meski tetap dipuji dari sisi visual, banyak kritik menyoroti cerita yang dianggap stagnan dan terlalu mengandalkan skala spektakel.

Berdasarkan data Rotten Tomatoes, Avatar: Fire and Ash menerima respons paling dingin dibandingkan dua pendahulunya, dan mencatat skor kritik di kisaran 68–70 persen (tergantung waktu pembaruan), menjadikannya skor terendah dalam trilogi sejauh ini. Sebagai perbandingan, Avatar meraih skor 81 persen, sementara The Way of Water memperoleh 76 persen.

Forbes mencatat bahwa meskipun skor ini tergolong cukup baik, capaian tersebut tetap berada di bawah sebagian besar film klasik James Cameron seperti Titanic, Terminator 2, hingga Aliens.

Sejumlah media besar menyampaikan kritik yang cukup keras. The Guardian memberi nilai 2 dari 5 dan menyebut film ini sebagai tiga jam penuh kekacauan yang tidak masuk akal, sembari menyindir kegigihan Cameron mempertahankan format 3D ketika sebagian besar industri film telah meninggalkannya.

BBC bahkan lebih tajam dengan rating 1 dari 5, menyebut Avatar: Fire and Ash sebagai yang terpanjang dan terburuk dalam seri ini, serta mengkritik dialog yang kaku, alur cerita yang longgar, dan spiritualitas new-age yang dianggap berlebihan.

Nada serupa datang dari IndieWire yang menyoroti rasa deja vu kuat dalam film ini. Menurut mereka, film ketiga ini tidak lagi menawarkan kejutan visual yang terasa revolusioner seperti dua film sebelumnya, sekaligus kehilangan kesegaran dalam penceritaan.

Kritik lain menyoroti isu yang sama, yakni pengulangan. Engadget, seperti dikutip Forbes, menyebut bahwa pertempuran besar di akhir film terasa seperti pengulangan dari The Way of Water, dengan latar dan konflik yang terlalu mirip.

Sejumlah kritikus, termasuk Wenlei Ma dari The Nightly dan Peter Howell dari Toronto Star, menilai bahwa rasa "kesamaan" mulai mendominasi, membuat film terasa membosankan meskipun secara teknis mengagumkan.

Namun demikian, tidak semua ulasan bernada negatif. Beberapa media justru tetap memberikan apresiasi tinggi pada kemampuan Cameron dalam menciptakan sinema berskala besar.

Deadline menyebut Avatar: Fire and Ash sebagai perang epik untuk segala zaman, menekankan bahwa tingkat detail dunia Pandora dan skala pertempurannya melampaui dua film sebelumnya.

IGN mengakui adanya rasa pengulangan, tetapi menilai Cameron masih berhasil memperbesar ide-ide lama dengan pendekatan khasnya.

Den of Geek menyebut film ini sebagai spektakel yang dangkal namun tetap layak dibayar, memuji pencapaian estetika visualnya meski narasinya tidak terlalu mendalam.

Empire bahkan memberi rating 4 dari 5, menyatakan bahwa Cameron sekali lagi menunjukkan penguasaannya atas sinema blockbuster, dan bahwa film ini tetap pantas dinikmati di layar lebar selama hampir tiga jam.

Terlepas dari perdebatan kualitas cerita, satu hal yang nyaris tidak diragukan adalah performa box office. Forbes menegaskan bahwa skor kritik yang lebih rendah hampir pasti tidak akan berdampak signifikan pada pendapatan.

Avatar pertama meraup lebih dari 2,9 miliar dolar AS secara global, sementara The Way of Water mencapai sekitar 2,3 miliar dolar AS. Dengan sejarah tersebut, Fire and Ash diperkirakan tetap berpotensi mengantongi pendapatan miliaran dolar, meskipun mungkin lebih rendah dari pendahulunya.

Pada akhirnya, Avatar: Fire and Ash menegaskan posisi Avatar sebagai tontonan yang memecah opini. Bagi sebagian penonton, film ini mungkin terasa seperti pengulangan yang terlalu panjang. Namun bagi penggemar setia yang datang untuk menikmati dunia Pandora, visual 3D, dan skala sinema khas James Cameron, film ini tetap menawarkan pengalaman sinematik yang sulit ditandingi.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak