Bayi Menghilang Didalam Kandungan atau Kehamilan Palsu Menurut Medis

Candra Kartiko | Hansveo Hansveo
Bayi Menghilang Didalam Kandungan atau Kehamilan Palsu Menurut Medis
Seorang wanita hamil (Pexels/Alicia Zinn)

Beberapa bulan yang lalu, sekitar akhir bulan Februari jagat maya sempat digegerkan dengan kisah seorang ibu di Nias, Sumatera Utara yang kehilangan bayi dalam kandungannya. Dilansir dari health.detik.com kabar tersebut disebarkan melalui media sosial salah satu tenaga kesehatan yang memeriksa kehamilan ibu tersebut. Cukup banyak netizen yang mengaitkan hal tersebut dengan hal-hal mistis, terlihat dengan adanya segudang perdebatan yang terdapat pada kolom komentar unggahan video tersebut. Lalu bagaimana para ahli medis menjelaskan peristiwa ini?  

Merangkum dari laman alomedika.com, osmosis.org, dan flo.health, bayi yang menghilang di dalam kandungan itu sebenarnya memang tidak ada sejak awal kehamilan, peristiwa ini biasa disebut dengan hamil palsu atau pseudocyesis (pseudo = semu, kyesis = kehamilan). Kehamilan palsu berhubungan dengan sebuah kelainan psikologis yang biasanya dialami wanita, baik di usia produktif maupun pasca menopause. Kelainan ini bisa menyerang wanita manapun tanpa memandang status suku, ras, maupun ekonomi. Kasus kehamilan palsu jarang ditemukan, namun kelainan ini dapat membawa dampak psikologis yang cukup parah, terutama bagi mereka wanita yang infertil dan ingin memiliki keturunan.

Wanita penderita kehamilan palsu mengalami gejala yang sama persis dengan kehamilan sebenarnya, sehingga seorang dokter dituntut untuk teliti dalam melakukan pemeriksaan kehamilan. Gejala-gejala kehamilan palsu yang timbul antara lain, nyeri perut, kembung, mual, muntah, tanda-tanda yang mirip dengan kehamilan, seperti tidak terjadinya menstruasi (amenorrhea), munculnya cairan dari puting susu yang terdiri dari ASI (galactorrhea), morning sickness, nyeri payudara, payudara membesar, perut membesar, terasa seolah-olah ada gerakan bayi di dalam rahim (quickening), bertambahnya berat badan dan frekuensi urin. Sebagai tambahan gangguan mood seperti hipomania dan depresi juga dapat terjadi. Durasi munculnya gejala kehamilan palsu sangat bervariasi ada yang terjadi selama beberapa minggu hingga sembilan bulan atau lebih.

Belum dapat dipastikan dengan jelas bagaimana kehamilan palsu ini terjadi. Namun, banyak ahli yang meyakini bahwa kehamilan palsu ini disebabkan oleh keinginan kuat dari seorang wanita yang ingin memiliki keturunan sehingga ia sangat meyakini kalau dirinya hamil. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan sekresi dari gonadotropin releasing hormone (GnRH), luteinizing hormone (LH), dan hormon prolaktin. Sistem saraf simpatetik juga mengalami disfungsi, sehingga mengganggu saraf abdomino-frenik. Gangguan pada saraf terebut dapat membuat perut seorang wanita seolah-olah membesar. Kans terjadinya kehamilan palsu pada wanita meningkat pada wanita infertil yang menginginkan anak, wanita pada usia 20-39 tahun, wanita yang mengalami sexual abuse, tekanan interpersonal untuk memiliki anak, dan ketakuan untuk memiliki anak.

Kehamilan palsu atau pseudocyesis memang tidak membahayakan nyawa dari seorang wanita, akan tetapi hal tersebut dapat menimbulkan impak pada kondisi psikologisnya. Sehingga pemeriksaan lebih lanjut perlu dilakukan untuk benar-benar memastikan kondisi kehamilan dari seorang pasien. Komunikasi yang baik antara dokter dengan pasien merupakan cara terbaik yang bisa dilakukan untuk mencegah euforia kehamilan pada pasien. Pasien juga bisa mengajukan konsultasi dengan psikolog untuk memastikan lebih lanjut mengenai kondisi psikologis yang dialaminya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak