Dalam benak harapanku, aku mesti mendapatkannya dengan mulus.
Pikiran yang polos dan tulus ingin melihatnya.
Rasa rindu yang terpendam ingin berjumpa dengan orang tercinta.
Sudah lama aku bersemai dengan diriku sendiri di kota ini.
Sore hari aku telah bulatkan niatku untuk balik ke kampung halaman.
Lalu kenapa aku malah berpikir hatiku masih berada di kota ini?
Aku tak tahu kenapa seakan ada tanda yang datang tak bersahabat.
Namun pikiranku selalu membantah kalau itu hanyalah halusinasi saja.
Waktu sore makin mematangkan dirinya.
Ketika aku sudah bersiap-siap meninggalkan kota ini.
Lalu kenapa alam mulai nampak menggelap.
Cuaca kedingan pun terasa pada tulang-tulangku.
Tidak lama berselang rintihan hujan menghadangku pergi meninggalkan kota ini.
Aku duduk sejenak sembari menunggu hujan berhenti membasahi bumi.
Aku membiarkan pikiran bersikap positif kepadanya.
Dan aku mencoba sabar menunggu hujan akan bersahabat denganku lagi.
Terasa olehku lama berada di kursi sederhana.
Kursi tempat aku menghayati maksud hujan turun saat aku ingin pergi meninggalkan kota ini.
Hujan pun makin deras dan terasa keras merintih di atap-atap seng.
Hingga aku pun berpikir kotor kalau hujan telah melanda harapanku di sore ini.
Pikiranku kini tak karuan lagi.
Nalarku seakan mau memberontak.
Dalam batinku antara ingin pulang walau badai telah aku saksikan di depan mata.
Mungkinkah aku yang terlalu egois?
Mengapa hujan malah datang saat aku tak menginginkannya?
Masih banyak hari-hari esok yang dapat ia singgahi untuk datang.
Namun tidaklah sama sekali, kini hujan pun datang tambah mengeras lagi.
Atau mungkin ada hikmah di baliknya.
Hujan datang bukan untuk melanda harapanku.
Apakah mungkin ia datang untuk mencegah aku dari hal aneh saat dalam perjalanan?
Hingga kini hujan pun menggagalkan rencanaku untuk meninggalkan kota ini.
Aku tak tahu pasti.
Apakah hujan melanda harapanku atau ia memiliki rencana lain yang lebih dahsyat?
Camba Majene, 27 Agustus 2021