Perjumpaan Tak Terduga

Tri Apriyani | Eko Saputra
Perjumpaan Tak Terduga
Gang Sepi (pixabay)

Malam yang dingin, sunyi, dan mencekam. Ia berjalan pelan-pelan di sepanjang gang lengang. Ia sudah akrab dengan kesepian seperti ini. Di sini, ia kerap berbincang dengan diri sendiri. Ia akan berteriak pada dirinya, atau memakinya, atau mengejeknya, tetapi ia lebih suka bertanya-tanya.

Namun, malam itu tiba-tiba saja ia merasakan kehadiran sesuatu yang lain—atau seseorang—yang bukan dirinya. Orang itu mungkin telah mendengar diskusinya dengan diri sendiri. Gawat, ia bisa-bisa dianggap gila.

Dugaannya benar. Tampaknya ada seorang pria tengah duduk di bangku lapuk di ujung gang sana. Tak cukup pencahayaan di gang ini, jadi ia tak bisa yakin siapa. Namun, nalurinya berkata ia kenal pria itu, meski hanya tampak samar-samar. Remang cahaya bulan pun menuntun langkah-langkahnya menuju ujung gang, ke jalan raya yang cukup ramai.

Semakin dekat, semakin ia yakin. Beberapa langkah kemudian ia terperanjat, nyaris tak bisa berkata-kata. Ia bukan hanya kenal pria itu, melainkan juga akrab dengannya. Pria itu tak lain dan tak bukan adalah dirinya sendiri.

“Hai, bagaimana kabarmu? Sudah berapa lama ya kita tidak bertemu?” Pria itu menyapanya ramah. Mirip sekali dengannya.

“Hmm, sangat lama, kupikir. Delapan belas bulan...atau dua puluh. Mungkin,” aku membalasnya dengan ramah pula, masih berusaha tidak terlihat terkejut dengan pertemuan mendadak ini.

“Jadi, apa kegiatanmu saat ini?” Pria itu bertanya.

“Hmm, masih seperti dulu. Kegiatanku adalah tak ada kegiatan.”

“Selain mondar-mandir di gang ini.”

“Ya, selain mondar-mandir di sini,” sekarang ia sudah lebih tenang. 

Kemudian mereka tertawa bersama. Ia gembira akhirnya bisa bertemu tubuhnya sendiri. Perjumpaan terakhir mereka delapan belas bulan lalu, atau mungkin dua puluh. Saat itu tubuhnya berkata hendak pergi jauh, melanglang buana. Tubuhnya ingin menapaki tempat-tempat asing yang tak terjamah. Namun, tubuhnya tidak mengatakan akan ke mana tepatnya. Itu adalah terakhir kalinya ia melihat tubuhnya sendiri. Mereka erat berpelukan. Hari-hari setelah itu, ia hanya bisa bayangkan keberadaan tubuhnya, tetapi tak bisa melihat, apalagi menyentuh. 

Lalu, tibalah malam ini. Secara mendadak.

“Kau kembali juga,” ia berkata pada pria itu, “sudah lama tak kutatap tubuhku.”

“Begitu pula aku, telah lama tak kutemui jiwaku,” pria itu menyambung.

“Jadi, apa gerangan sebenarnya kau datang ke sini?”

“Hanya ingin memberitahu satu hal.”

“Apa itu?”

“Aku akan pergi lagi.”

“Ha? Pergi lagi? Belasan bulan tak berjumpa, sekali berjumpa cuma bilang mau pergi. Kau mau ke mana sebenarnya, sih? Berapa lama?”

“Ke dunia yang lebih jauh lagi dan lebih lama lagi."

“Lebih lama itu berapa lama?”

“Mustahil dihitung.”

“Aku tidak paham.”

Malam yang dingin, sunyi, dan mencekam itu adalah terakhir kalinya ia berjumpa tubuhnya. Hari-hari setelah itu, hingga berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun kemudian pun, mereka tak pernah lagi bertemu. Ia juga tak lagi bisa rasakan keberadaan sang tubuh.

Dalam kepedihan yang dalam, ia mulai memikirkan sesuatu. Tak ada cara lain untuk menghapus kesepian ini, sepertinya ia harus mencari tubuh baru. Tubuh yang baik, yang tak akan berpikir untuk meninggalkan jiwanya. 

***

Pekanbaru 2020

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak