Terik Kehidupan

Tri Apriyani | Fachry Fadillah
Terik Kehidupan
Ilustrasi matahari pagi untuk berjemur. (pixabay.com)

Kehidupan telah membakar separuh dari segenap nasibku; pancarannya amat terik melintasi ubun-ubun kepalaku.

Aku tak dapat menahan diri, hingga kuputuskan untuk menyingkir di antara bayang-bayang waktu.

Meskipun terik kehidupan kian membakar nasibku, aku harus mencoba agar tidak takut kepadanya: sebab telah lama pula dadaku ini berjalaga, mengepulkan asap pekat di dalam jiwa. Dan lagi, takdirku ini telah menjelma sebutir uap panas yang mengembara bersama tanda tanya di udara.

Terik kehidupan ada dan akan selalu ada selama nyawa manusia masih berputar pada porosnya, dan ia tidak akan pernah menarik pancarannya hingga tiba saatnya; saat dimana raga dan nyawa manusia telah dikandung oleh tanah.

Terik kehidupan akan selalu membakar nasib manusia, dan pancarannya seringkali berupa nestapa dan tipu daya. Dan akan tiba masanya dimana terik kehidupan tak lagi peduli terhadap nasib manusia, yakni pada masa dimana manusia telah menutup mata untuk selamanya.

Terik kehidupan mungkin akan hilang dan pergi, tetapi hanya untuk sementara waktu; sebab ia akan selalu kembali lagi. Terik kehidupan tidak pernah memandang malam dan siang; pagi dan petang. Sebab ia akan terus mengintai waktu dan akan selalu mengikuti arah kaki manusia berlalu.

Kita tidak perlu takut kepada terik kehidupan, sebab ketakutan kepadanya justru membuat ia semakin menyala.

Kita juga jangan terlalu menentangnya, sebab menentangnya hanya akan berakhir dengan sia-sia.

Namun begitu, kita sebagai manusia dituntut untuk selalu waspada dan siap siaga, serta berani untuk tidak lari saat berhadapan dengannya. Sebab kehadirannya dalam hidup kita hanyalah untuk menguji; apakah kita mampu menghadapinya atau justru malah bersembunyi darinya.

Teriknya kehidupan hanyalah satu dari sekian banyaknya persoalan yang telah menjadi fitrahnya kelahiran manusia; yang tersimpan pada masing-masing takdir yang dikandungnya. Sudah semestinya bila manusia sadar akan kehidupannya dan tidak lalai akan tanggung jawabnya. Sebab manusia merupakan satu-satunya makhluk yang dipercaya bisa mengemban amanat dan mampu mengembarakan kehidupan. Dan tak semestinya bila manusia lari dari fitrahnya sendiri, serta mengkhianati wujudnya sendiri...

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak