Dedaunan itu mulai mengering,
Meronta, meminta kebebasan
Ia ingin terbang, menyatukan diri alum alunan angin.
Ia terus saja berteriak kepadaku,
Terus saja memohon, agar aku bisa melepasnya dengan bebas
Katanya, ini sudah saatnya
Aku haruslah menyadarinya, bahwa sesuatu yang selama ini aku tahan, bukan lagi milikku.
Ia masih saja terus menyentakku,
Melontarkan kalimat-kalimat tajam, namun pedih
Menyadarkanku, bahwa aku telah tak mampu lagi menjaga pohon jinggaku.
Tapi tentu saja, aku tidaklah semudah itu untuk lunak
Aku masih saja keras, bertahan dalam kebodohanku
Selalu meneriakkan kembali padanya, bahwa aku tidak bisa
Aku tidak bisa melihat pohon jingga yang selalu aku jaga,
Mati tak berdaun, kering terlapuk cuaca.
Aku sama sekali tidak peduli atas detik arloji yang terus saja menggema,
Bisikan rembulan yang terus saja menyiarkan kebosanan pohon jinggaku,
Bahkan rintik hujan yang berusaha keras untuk membangunkan logikaku,
Tapi rasanya, logikaku telah mati.
Ya, belenggu pohon jinggaku telah mampu membuatku hampir gila,
Mati-matian mempertahankannya ditengah kemelut badai.
Hai, sayang.
Bukankah, dulu kita berjanji untuk bersama?
Iya, bersama.
Katamu, kita akan terus berdua
Memeluk dan menjaga pohon jingga ini, merawatnya dengan segala kehangatan yang kita punya.
Namun, sepertinya engkau telah melupakan janji manismu itu
Engkau telah begitu lepas, tak peduli lagi dengan pohon kita yang hampir tumbang
Tak peduli guguran daun yang hendak melayang pergi,
Tak peduli kita yang telah ada di ujung jalan.
Aku yang ada di ujung tombak.
Perasaan yang telah hilang.