Tanpa menempatkan satu wakil pun di babak semifinal bulutangkis Asian Games, menjadi gambaran kegagalan PBSI. Target 3 medali emas yang dicanangkan, tinggal angan-angan. Padahal 3 medali emas tersebut menjadi bagian dari target 12 medali emas kontingen Asian Games Indonesia.
Kenyataan ini terasa sangat menyakitkan. Tradisi emas yang selalu dihasilkan cabang olahraga bulutangkis dalam Asian Games, kini hilang. Hal yang lebih menyakitkan posisi Indonesia sebagai raksasa bulutangkis Asia bahkan dunia, kini tidak berbekas lagi.
Kegagalan kali ini sebenarnya bukan satu-satunya. Rangkaian kegagalan ini telah terjadi sejak awal 2023. Dalam nomor beregu maupun perorangan, prestasi atlet bulutangkis Indonesia sangat minim.
Ajang Thomas Cup, Uber Cup, dan Sudirman Cup yang menyajikan nomor beregu bulutangkis tidak bisa lagi didekap. Demikian pula turnamen-turnamen bergengsi termasuk All England, tinggal kenangan.
Kritikan terhadap PBSI tentang perlunya regenerasi dalam tim, tidak pernah terealisasi. Jujur harus diakui terdapat jarak yang terentang amat jauh antara para pemain senior dengan junior. Contoh paling nyata di sektor tunggal putri. Selama ini hanya Jorji yang menjadi andalan.
Sektor tunggal putri semenjak ditinggalkan Susi Susianti, tidak pernah lagi mencetak prestasi gemilang. Saat ini sektor ini seakan hanya milik 4 pemain An Se Young, Akani Yamaguchi, Che Yun Fei, dan Tai Tzi Tzung.
Demikian pula sektor tunggal putra. ‘Kesaktian’ Anthony Ginting tidak lagi menyilaukan para pemain lain. Bahkan menghadapi para pemain muda pun Ginting sering keteteran. Setali tiga uang dengan Jonatan Christie.
Jarak antara Anthony Ginting dengan juniornya, sangat jauh. Christian Adinata yang diharapkan mampu menggantikan Ginting, hingga kini tidak juga bersinar. Demikian pula Alwi Farhan, Immanuel Rumbay, Krisna Adi, mereka tercecer di ranking 100-an BWF.
Jarak lebar semacam ini tidak terjadi di negara lain. Mereka memiliki pelapis dengan kualitas tidak terlalu jauh dengan seniornya.
Melihat semua ini PBSI mau tidak mau harus berani cuci gudang terhadap para pemainnya. Mengganti para pemain yang tidak potensial menjadi pilihan terbaik. Istilah ekstremya melakukan pemotongan satu generasi.
Selain itu sudah saatnya PBSI tidak malu-malu ‘mencuri’ ilmu pembinaan pemain muda dari negara lain. Harus diakui dalam urusan ini PBSI sangat lemah. Para pemain muda yang dihasilkan, ternyata tidak bisa berbuat banyak di level senior. Hal ini dimungkinkan ‘bekal’ yang mereka miliki termasuk jam terbang yang terlalu minim.
Jika langkah-langkah pembenahan tidak segera dilakukan, jangan heran jika pada suatu ketika nama Indonesia akan lenyap dari peta bulutangkis dunia. Tanda-tanda tersebut sudah mulai tampak, Indonesia tidak lagi dipandang sebagai ancaman.