Sisi Lain Unggahan Buku: Bukan Pamer, Tapi Bentuk Dokumentasi dan Motivasi

Hernawan | Ruslan Abdul Munir
Sisi Lain Unggahan Buku: Bukan Pamer, Tapi Bentuk Dokumentasi dan Motivasi
Ilustrasi unggahan foto buku (Pexels/Victor Freitas)

Belakangan ini, sering kita jumpai perdebatan di media sosial tentang orang yang mengunggah foto buku. Unggahan seperti ini kerap dituduh sebagai bentuk pamer atau upaya untuk disebut "pintar."

Namun, jika kita melihat lebih dekat, fenomena ini tidak jauh berbeda dengan hobi lain, seperti olahraga. Mengunggah aktivitas membaca atau olahraga di media sosial bukanlah sekadar pamer, melainkan bagian dari ekosistem hobi di era saat ini.

Semua hobi yang seseorang tekuni pasti akan mendatangkan perasaan bahwa dirinya perlu untuk membuat hobi tersebut menjadi bagian dari kehidupannya.

Mari kita bandingkan dengan hobi olahraga, seperti lari atau bersepeda. Para pelari atau pesepeda sering kali mengunggah hasil latihan mereka di aplikasi seperti Strava.

Unggahan ini mencakup rute, jarak tempuh, dan kecepatan. Tujuan mereka tentu beragam. Ada yang sekadar mendokumentasikan pencapaian pribadi, ada yang mencari motivasi dari komunitas, dan ada pula yang ingin menantang diri sendiri untuk melampaui rekor sebelumnya.

Jarang sekali orang menganggap unggahan Strava sebagai bentuk pamer. Justru, hal itu dilihat sebagai bentuk berbagi semangat dan pencapaian setelah melakukan hobi tersebut.

Sama halnya dengan buku. Ketika seseorang mengunggah foto buku yang sedang dibaca, ia mungkin melakukannya untuk mendokumentasikan perjalanan membaca pribadi.

Ini adalah cara untuk mencatat buku apa saja yang sudah mereka selesaikan, mirip seperti mencatat jarak lari. Selain itu, unggahan buku juga berfungsi sebagai ajakan untuk berinteraksi.

Dengan membagikan buku, seseorang membuka ruang diskusi dengan sesama pembaca, bertukar rekomendasi, atau sekadar menemukan orang lain yang memiliki minat serupa.

Ini adalah cara untuk membangun komunitas yang lebih terhubung, yang mana ini adalah tujuan utama dari banyak platform media sosial.

Tentu, tidak bisa dimungkiri ada sebagian kecil orang yang memang memiliki niat untuk pamer. Namun, niat ini ada di semua hobi.

Ada pelari yang ingin memamerkan sepatu lari mahal, ada pesepeda yang ingin memamerkan sepeda yang ia pakai, dan begitu juga dengan pembaca.

Namun, terlalu sering, kita cenderung menuduh mereka yang mengunggah buku dengan niat buruk, sementara kita memaklumi hobi lain.

Pada intinya, seseorang yang memiliki hobi apapun bentuknya pasti ia memiliki kesenangannya tersendiri dalam menjalankan hobinya, bahkan jika karena FOMO sekalipun.

FOMO (Fear of Missing Out) dalam konteks membaca ternyata bisa jadi hal yang baik. Saat melihat teman-teman di media sosial ramai membaca buku tertentu, kita mungkin merasa tertinggal dan terdorong untuk ikut membaca.

Fenomena yang dikenal sebagai book influencer ini, terutama Bookstagram dan BookTok, telah memicu banyak orang untuk membeli dan membaca buku.

Ketakutan untuk tidak up to date dalam dunia literasi justru mendorong kita untuk lebih sering membuka buku. Jika FOMO biasanya dianggap negatif, dalam kasus ini ia berfungsi sebagai motivasi positif yang meningkatkan budaya membaca.

Jadi, alih-alih melihat unggahan buku sebagai pamer, mari kita lihat itu sebagai bagian dari budaya berbagi di media sosial yang memang sudah menjadi budaya di kehidupan modern saat ini.

Unggahan buku di Instagram, TikTok, atau platform lain adalah bentuk perayaan atas sebuah pencapaian personal atas hobi yang dijalankan.

Itu adalah cara untuk mengatakan bahwa, "Saya menikmati ini, dan mungkin kamu juga akan menikmatinya." Ini adalah cara untuk menormalkan kegiatan membaca di tengah gempuran konten lain, dan itu bukanlah hal yang buruk.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?