Tak terasa pandemi telah berlangsung hingga setahun lebih dan begitu pula semua hal telah terjadi selama pandemi, baik yang disadari maupun yang tidak. Sadar atau tidak selama pandemi semua jadi lebih terbatas dan langka, itulah yang terbentuk dalam pola pikir masyarakat, sehingga tanpa sadar muncul yang namanya scarcity mindset dalam diri kita. Psikolog Luki Arinta menjelaskan perihal apa itu scarcity mindset yang mungkin dialami banyak orang terkhusus di masa pandemi.
“Scarcity ini pola pikir yang kekurangan atau terbatas. Sesuatu yang membatasi dan akhrinya kita jadi terbelenggu dengan mindset itu. Ini bisa terjadi kepada siapapun meski bentuknya akan berbeda-beda” jelas Luki Arinta saat diwawancarai Kamis (06/04/2021)
Situasi pandemi berpotensi menumbuhkan scarcity mindset di kalangan masyarakat, dimana semua menjadi sangat terbatas dan langka, sehingga membuat kita merasa kekurangan sumber daya, merasa memiliki waktu yang amat terbatas, dan merasa kebutuhan kian tak terpenuhi.
Perasaan ini datang karena adanya katerbatasan fisik yang tidak bisa dihindari, serta didukung alasan subjektif lainnya yang dipengaruhi oleh budaya, pola didik, bahkan genetik.
Banyak dari kita kehilangan pekerjaan yang kemudian menimbulkan masalah finansial sehingga memaksa kita untuk memangkas beberapa hal esensial supaya dapat menutupi biaya lainnya. Karena hilangnya pekerjaan tersebut, orang merasa semakin terpuruk dengan keterbatasan dan berdampak pada mindset yang berfokus pada kekurangan dan keterbatasan saja, tanpa melihat peluang yang ada.
Seperti banyaknya kesempatan untuk memulai usaha, yang bisa dijadikan pilihan dalam mengatasi masalah finansial, dan masih banyak kesempatan lainnya.
Contoh lainnya seperti diberlakukannya social distancing selama pandemi ini, membuat sebagian orang merasa terisolasi dari sahabat dan keluarga. Dengan ancaman penyebaran virus Covid-19 orang jadi takut dan cemas untuk bersosialisasi bahkan ketika protokol kesehatan sudah diberlakukan.
Hal tersebut muncul karena scarcity mindset semakin membuat seseorang merasa sendirian. Padahal jalinan relasi masih bisa diupayakan dengan kecanggihan teknologi yang memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan orang tersayang. Bila ingin bertemu tentunya bisa dilakukan dengan tetap menaati protokol kesehatan.
Menjelang hari raya Idul Fitri pula, sebagian orang merasa kebutuhan semakin banyak, entah itu untuk membeli baju baru, membeli kue lebaran, dan sebagainya.
Scarcity mindset membuat kita merasa kekurangan dari apa yang kita miliki saat ini. Seolah-olah kita tidak mampu memenuhi kebutuhan lain sehingga membuat hari raya seperti menambah beban finansial dan tidak menikmati hari raya dengan bahagia sebagaimana mestinya.
Menurut Luki, dampak dari scarcity ini memang membuat kita semakin tidak berdaya dan kreatifitas jadi mampet bahkan pada tingkat tertentu mampu membuat kita depresi yang mempengaruhi kesehatan mental baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Kabar baiknya, scarcity mindset ini tidak selalu membawa dampak buruk. Buku karya Mullainathan dan Sendhil yang berjudul “Scarcity: why having too little means too much” menjelaskan bahwa scarcity dapat membawa keuntungan pula. Karena kondisi keterbatasan dan kekurangan mampu memfokuskan perhatian kita untuk memanfaatkan kekurangan tadi secara efektif.
Ketika scarcity mindset ini muncul secara tiba-tiba, mampu merangsang pertahanan diri yang terjadi di luar kesadaran. Seperti autopilot, diri kita didorong untuk mau tak mau harus mempertahankan diri untuk menyelesaikan masalah yang membelenggu. Contohnya, dengan waktu yang terbatas, uang yang sedikit, dan hal-hal lainnya yang terjadi, memaksa kita untuk mengupayakan solusi bagi persoalan yang dihadapi. Namun, setiap individu tentu punya cara masing-masing dalam mengupayakan peluang secara efektif.
Perlu diingat pula bahwa kian hari tantangan akan semakin berat, tak hanya dalam situasi pandemi. Oleh karena itu, Luki Arinta mendorong masyarakat untuk tetap memiliki mindset yang terbuka, supaya dapat dengan bijak mengambil keputusan yang baik. Tentu pikiran dan perasaan harus seimbang serta memiliki energi yang positif supaya apa yang terealisasikan juga positif.
“Karna ini soal energi, sama dengan prinsip law of attraction. Kalau kita energinya miskin, tidak mampu, ya akhirnya itu yang kita tarik.” tambah Luki.
Memiliki mental “miskin” pula sama dengan scarcity mindset, dan tak sepatutnya dipertahankan, justru harus diseimbangkan dengan memilik abundance mindset yang memandang optimis segala peluang dan sumber daya yang dimiliki. Gunanya agar kita tidak lama-lama terpuruk dengan segudang keterbatasan.
Bahkan orang kaya pun tidak benar-benar bisa memenuhi kebutuhannya, tapi bisa jadi orang yang dianggap miskin justru lebih pintar menyeimbangkan pikiran dan perasaan dan berenergi positif untuk meraih apa yang diinginkan.