Problematika Seleksi Terbuka JPT di Pemprov DKI: Perlukah Dilanjutkan?

Tri Apriyani | Nabilla Nurul
Problematika Seleksi Terbuka JPT di Pemprov DKI: Perlukah Dilanjutkan?
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan ASN Pemprov DKI Jakarta. (Instagram/@aniesbaswedan)

Seleksi terbuka merupakan amanah dari Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bertujuan untuk mewujudkan agenda reformasi birokrasi dalam rangka memberantas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di bidang kepegawaian. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaannya seleksi jabatan dilakukan secara transparan, menggunakan indikator tertentu dan dilakukan oleh pihak yang netral dan kompeten melakukan seleksi (Nasir, 2019).

UU Nomor 5 Tahun 2014 tersebut juga menjelaskan tentang manajemen ASN yang merupakan keseluruhan upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi, dan kewajiban kepegawaian, yang meliputi perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan, dan pemberhentian.

Proses penyelenggaraan manajemen ASN haruslah berdasarkan pada sistem merit. Berman, dkk (2006) mengartikan sistem merit sebagai proses rekrutmen, promosi, penghargaan, dan hukuman yang adil, dan teratur berdasarkan kualifikasi, kinerja, dan seleksi kompetitif yang dinilai oleh para ahli. Tujuan penerapan sistem merit, menurut UU ASN ini adalah untuk memastikan jabatan di birokrasi pemerintah diduduki oleh orang-orang yang profesional, dalam arti kompeten, dan melaksanakan tugas berdasarkan nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN.

Sejalan dengan amanah UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melaksanakan seleksi terbuka untuk mengatasi persoalan kekosongan jabatan pada tujuh belas posisi setingkat eselon 2 yang tak teratasi sejak tahun lalu.

Namun, dari 424 ASN yang telah memenuhi syarat dan berhak untuk mengikuti seleksi terbuka hanya 185 orang yang mengikuti seleksi terbuka dan sisanya 239 ASN tidak mau mengikuti seleksi terbuka ini dengan bergeming pada pendirian masing-masing sehingga Gubernur Anies Baswedan memberikan teguran keras dan Sekretaris Daerah (Sekda) Marulah Matali mengeluarkan Instruksi No 41/2021 yang mewajibkan mereka mengikuti seleksi jabatan.

Hambatan dan Alasan Seleksi Terbuka di Pemprov DKI Jakarta

Keengganan ASN DKI mengikuti seleksi terbuka ini dinilai bukan tanpa alasan. ASN DKI sendiri dinilai sebagai ASN yang mendapatkan tunjangan kinerja yang paling besar dibanding pemda lainnya. Mengacu pada Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Pergub Nomor 19 Tahun 2020 tentang Tambahan Penghasilan Pegawai, angka terendah pada jabatan pelaksana pelayanan terampil sebesar Rp7.470.000, dan untuk jabatan fungsional selain auditor, perencana, dan dokter tingkat terendah (keterampilan pemula) sebesar Rp12.960.000.

Angka tersebut Masih jauh lebih besar jika dibandingkan dengan jabatan setingkat di instansi lainnya. Tunjangan kinerja yang besar inilah yang menyebabkan ASN DKI merasa nyaman dan enggan untuk keluar dari zona nyamannya.

Selanjutnya, target kinerja dan tanggung jawab yang tinggi sebagai eselon 2 juga menjadi pertimbangan serta kemungkinan diberhentikan dari jabatannya manakala target kinerja tersebut tidak terpenuhi menjadi ketakutan tersendiri bagi para ASN. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa ASN yang menduduki jabatan eselon 3 masih berkemungkinan memperoleh pendapatan yang kompetitif, tanpa perlu mengampu tanggung jawab jabatan yang lebih besar seperti pada jabatan eselon 2.

Ketakutan ASN tersebut diperparah dengan keberadaan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) yang dinilai terlalu dominan dan berperan terlalu sentral bahkan sampai ke ranah operasional yang mengendalikan kebijakan-kebijakan di berbagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) DKI Jakarta. Hal tersebut, berdampak pada banyak kepala SKPD di Pemprov DKI Jakarta yang merasa tidak memiliki banyak kewenangan saat menjabat dan bahkan merasa was-was karena merasa diawasi oleh TGUPP.

Alasan lainnya adalah masih kentalnya kultur ketimuran di lingkungan pemerintah daerah, dimana ada anggapan bahwa jabatan adalah amanah. Sehingga, jabatan lebih baik diberikan atasan daripada harus mencalonkan diri untuk sebuah jabatan semata, serta adanya anggapan untuk menghormati senior sehingga lebih baik senior yang menjabat pada posisi pimpinan.

Selain itu, masih banyak pula ASN yang meragukan kapabilitas dan profesionalitas panitia seleksi (pansel) karena pada akhirnya ada hak prerogatif kepala daerah untuk memilih calon yang telah lulus dari pansel di tahap akhir.

Hal ini yang memunculkan anggapan bahwa seleksi terbuka JPT hanyalah akal-akalan kepala daerah untuk “melegalkan” praktik KKN dengan menitipkan orang pilihannya, agar lolos dalam pansel dan kemudian dengan hak prerogatif pada tahap terakhir, kepala daerah dapat memilih kadernya. Keengganan ASN untuk ikut seleksi juga karena mereka menganggap proses seleksi yang begitu merepotkan dengan beragam syarat kelengkapan dan prosedur yang rumit serta memakan waktu yang lama.

Solusi Alternatif Penyelenggaraan Seleksi Terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemprov DKI

Tidak dapat dipungkiri bahwasanya upaya perwujudan tujuan reformasi birokrasi khususnya dalam manajemen ASN sesuai yang diamanatkan dalam UU Nomor 5 tahun 2014 mengalami sejumlah resistensi terhadap perubahan yang ditemui baik di tingkat individu maupun organisasi. Penulis menilai bahwa seleksi terbuka sudah merupakan langkah yang tepat untuk mencari orang yang terbaik, paling mampu, paling tepat dan paling berprestasi dengan cara yang sistematis, transparan, dan menantang.

Hal ini karena seleksi terbuka JPT merupakan pengejawantahan dari open career system dan merit system yang mengedepankan kompetisi terbuka dan kompetensi calon JPT. Namun demikian seperti yang telah dibahas diatas, seleksi terbuka ini masih memiliki beberapa kelemahan dalam implementasinya. Untuk itu, penulis berusaha memberikan beberapa solusi alternatif yang dapat diterapkan apabila seleksi terbuka ini tetap dijalankan.

Pertama, perlu adanya evaluasi terhadap proses pelaksanaan seleksi terbuka JPT demi terciptanya proses seleksi yang transparan dan objektif. Evaluasi dilakukan mulai dari siapa saja orang-orang atau pihak yang terlibat dalam proses penyeleksian.

Dalam hal ini, perlu dikaji kembali apakah orang-orang tersebut profesional dan tidak memiliki hubungan dengan orang yang akan direkrut. Lebih lanjut, dapat juga dibuat regulasi yang mengatur tentang konsekuensi atau sanksi penjatuhan hukuman disiplin dan pelanggaran kode etik bagi Pejabat yang melakukan politisasi birokrasi selama seleksi terbuka. Selain itu, dapat pula dibentuk Peradilan Etik untuk ASN dengan tujuan untuk memproses setiap ASN yang diduga kuat melanggar sistem merit atau juga untuk memproses panitia seleksi yang meloloskan peserta yang tidak memenuhi persyaratan atas dasar kedekatan pribadi.

Hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan efek jera pada oknum terkait agar ancaman dan hambatan pada seleksi terbuka dapat dicegah di kemudian hari.

Kedua, lembaga KASN sebagai lembaga yang berwenang dalam mengawasi proses seleksi terbuka JPT perlu menyusun suatu sistem pengawasan yang mampu mewujudkan transparansi dan objektifitas proses pengangkatan JPT ASN, serta KASN perlu diberikan peran yang lebih luas untuk memberikan sanksi bagi ASN yang melanggar sistem merit.

KASN juga perlu menerbitkan regulasi terkait pedoman penerapan sistem merit sebagai tindak lanjut dari dikeluarkannya Peraturan KASN Nomor 5 Tahun 2017 yang mengatur tentang Penilaian Mandiri Penerapan Sistem Merit, dimana pedoman tersebut mengatur mengenai instansi pemerintah yang harus memetakan dengan baik dan tepat kompetensi pegawainya, memiliki perencanaan karir yang baik bagi pegawai, serta menyusun rencana suksesi per jabatannya.

Ketiga, perlu disusun instrumen atau pedoman penilaian pada setiap tahapan tes (ujian) yang lebih sederhana, efektif dan efisien sehingga mempercepat proses penelusuran kompetensi calon dan penentuan hasil setiap tes (ujian).

Proses Rekrutmen juga harus berorientasi pada pencarian talenta terbaik yang berbasis beban kerja jabatan yang ditawarkan serta sertifikasi calon pelamar. Perlu juga disosialisasikan kepada masyarakat mengenai proses seleksi, mulai dari metode dan sistem yang digunakan untuk menilai para calon hingga pada hasil penilaian dan penetapan calon demi untuk menghindari terjadinya kecurangan ataupun resistensi ASN terhadap proses seleksi terbuka itu sendiri.

Keempat, perlu adanya perubahan postur penghasilan dari jabatan struktural setingkat eselon 3 dan 4 ke jabatan fungsional setingkat eselon 2 dan diatasnya. Pengelolaan kinerja individu juga harus digeser dari yang berorientasi hanya pada proses kepada berorientasi pada luaran (outcome) demi untuk pemenuhan ekspektasi kinerja organisasi. Ukuran kinerja di setiap unit juga perlu dievaluasi dan dikoordinasikan supaya tidak terjadi pengelolaan kinerja yang tumpang tindih.

Kelima, mendasarkan pelaksanaan pengelolaan kinerja pada collaborative governance dengan mengkoordinasikan hubungan kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam hal pembuatan regulasi, serta pembuatan indeks dan skema pengukuran kinerja yang terintegrasi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya kompetisi akibat ego-sektoral antar kementerian/lembaga, serta mengurangi beban tambahan bagi pemerintahan daerah yang terus dipacu untuk mengikuti berbagai prosedur teknis dari pemerintah pusat demi memenuhi berbagai tuntutan indeksasi ini dan itu yang seringkali menjadikan pemda mengabaikan kinerja yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan riil daerahnya.

Referensi:

  • Amalia, Y. (2021, Mei 25). Pengamat: Nilai ASN DKI Ogah Naik Jabatan Khawatir Ada Perintah Tumpang Tindih. merdeka.com. Retrieved Juni 10, 2021, from https://www.merdeka.com/jakarta/pengamat-nilai-asn-dki-ogah-naik-jabatan-khawatir-ada-perintah-tumpang-tindih.html
  • Azzahra, T. A. (2021, Mei 11). Ratusan Anak Buah Anies Tak Ikut Lelang Jabatan, Ketua DPRD Cium Keanehan. Detik News. Retrieved Juni 10, 2021, from https://news.detik.com/berita/d-5566192/ratusan-anak-buah-anies-tak-ikut-lelang-jabatan-ketua-dprd-cium-keanehan
  • Holidin, D. (2021, Juni 8). Masalah Sistemik Pemicu Enggan Lelang Jabatan. Media Indonesia.
  • Jannah, L. M. (2021, Juni 8). Menjaga Sistem Merit dalam Seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi. Media Indonesia.
  • Katharina, R. (2018, Oktober). Reformasi Manajemen Aparatur Sipil Negara: Evaluasi Peran Pejabat Pembina Kepegawaian dan Komisi Aparatur Sipil Negara. Spirit Publik, 13(2).
  • Rakhmawanto, A. (2017, November). Pengembangan Sistem Manajemen Aparatur Sipil Negara Berbasis Teknologi Informasi: Analisis Implementasi dan Hambatan. Civil Service, 11(2), 13-25. https://jurnal.bkn.go.id/index.php/asn/article/download/57/52/
  • Saragih, S. (2021, Mei 11). PDIP Tuding TGUPP Jadi Biang Kerok PNS DKI Enggan Naik Jabatan. Media Indonesia. Retrieved Juni 11, 2021, from https://mediaindonesia.com/megapolitan/404623/pdip-tuding-tgupp-jadi-biang-kerok-pns-dki-enggan-naik-jabatan
  • Taufik. (n.d.). Lelang Jabatan Sebagai Inovasi dalam Penempatan Aparatur Sipil Negara di Indonesia. Jurnal Desentralisasi dan Kebijakan Publik. https://doi.org/10.30656/jdkp.v1i2.2323
  • Yuliani, P. A. (2021, Mei 11). 239 ASN Enggan Ikut Seleksi, 17 Jabatan Eselon 2 di DKI Kosong. Media Indonesia. Retrieved Juni 11, 2021, from https://mediaindonesia.com/megapolitan/404465/239-asn-enggan-ikut-seleksi-17-jabatan-eselon-2-di-dki-kosong

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak