Menggiatkan Budaya Literasi Melalui Transformasi Perpustakaan

Tri Apriyani | Yuliardi
Menggiatkan Budaya Literasi Melalui Transformasi Perpustakaan
Ilustrasi perpustakaan (pexels)

Buku adalah jendela dunia dan membaca adalah kuncinya. Ungkapan itu memang sangat tepat. Buku adalah jendela informasi yang di dalamnya berisi segala informasi dan pengetahuan. Apa yang akan dikenang dari seseorang? Pastilah karya-karya yang dibuatnya. Salah satu bentuk karya adalah tulisan maupun buku. Indonesia pun telah menetapkan tanggal 17 Mei sebagai hari buku nasional. Hari dimana kita perlu memaknai pentingnya peningkatan budaya literasi melalui membaca. Media baca dapat dilakukan melalui media massa/koran, majalah, dan juga buku.

Perkembangan teknologi yang semakin pesat mengubah peradaban budaya literasi membaca, dari media baca analog ke media baca digital. Koran, majalah, dan buku kini semuanya dapat diakses melalui gawai. Media baca digital memang selalu menjanjikan informasi yang up to date, sesuai tuntutan kehidupan bermasyarakat saat ini.

Sejak tahun 2016 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai bagian dari implementasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Ditambah dengan era teknologi dan kondisi pandemi saat ini, seharusnya literasi membaca masyarakat Indonesia semakin membaik.

Inovasi Perpustakaan

Perpustakaan telah hadir sebelum era digitalisasi membaca. Perpustakaan adalah tempat peradaban bangsa karena menjadi tempat referensi segala buku dari masa ke masa. Jika negara tidak mampu membuat masyarakatnya melestarikan perpustakaan, lalu kemana lagi kita dapat memaknai sejarah peradaban bangsa sendiri.

Hari buku nasional juga merupakan momentum dari peresmian Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI). Sebagai instansi yang melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang perpustakaan, Perpusnas RI memiliki peran penting dalam upaya peningkatan budaya literasi. Jika kita ikuti media sosial resmi Perpusnas RI, akan banyak ditemukan kegiatan seperti webinar, advokasi, dan workshop yang bertujuan untuk peningkatan indeks literasi masyarakat.

Kita menyadari bahwa minat baca masyarakat belum optimal sehingga berdampak pada tingkat kunjungan perpustakaan. Sebagian besar kalangan yang mengunjungi perpustakaan adalah pelajar, yang datang hanya untuk meminjam buku. Padahal sarana dan prasarana yang dimiliki perpustakaan telah memadai. Fasilitas loker, internet, ruangan ber AC sudah kita jumpai di gedung-gedung perpustakaan.

Siapa yang tidak tertarik datang ke Yogyakarta. Di Kota Pelajar ini banyak pemuda-pemudi se-nusantara menimba ilmu. Perpustakaan Kota Yogyakarta memiliki banyak program untuk memenuhi kebutuhan belajar setiap pelajar/mahasiswa. Perpustakaan mampu membuat sejumlah inovasi yang mendekatkan diri pada masyarakat.

Kita tahu keberadaan teknologi semakin pesat, namun upaya untuk melestarikan buku secara fisik tetap dilakukan dengan Inovasi Bank Buku, yaitu meletakkan konter box buku di area publik seperti perkantoran maupun pusat perbelanjaan. Inovasi Bank Buku menjadi media bagi orang-orang untuk menyumbangkan buku yang dimiliki menjadi sumber referensi baru di perpustakaan. Dengan inovasi tersebut, akan semakin bertambah koleksi buku bacaan bagi pustakawan dan pemustaka. Hal yang mudah untuk menyalurkan informasi pengetahuan antar sesama.

Inovasi perpustakaan keliling dengan bermodalkan mobil atau motor tentu sudah banyak kita temui. Namun bagaimana jika pustakawan dapat memberikan inovasi layanan antar jemput buku sesuai order. Tentu hal tersebut lebih efisien dan membuat pemustaka tertarik. Perpustakaan Kota Yogyakarta mampu membangun inovasi yang diberi nama Jamila, dimana pemustaka dapat mencari buku yang diinginkan melalui media komunikasi tanpa perlu datang ke perpustakaan. Pemustaka dapat melakukan peminjaman buku secara delivery, sesuatu yang sangat kekinian.

Transformasi Perpustakaan

Perpustakaan tidak boleh lagi menjadi tempat kaku dimana buku hanya bisa dibaca ketika dikunjungi dan pelayanan peminjaman hanya bisa dilakukan di tempat. Pemustaka adalah konsumen yang akan datang kembali ketika memperoleh service excellent. Keberhasilan perpustakaan akan dapat diukur secara langsung bila persepsi pemustaka menjadi tolak ukur.

Perpustakaan harus meninggalkan pola “business as usual” menjadi agile organization. Agile organization menuntut suatu organisasi menjadi lincah dan gesit menyikapi perubahan secara cepat (Holbeche, 2015). Kemampuan mentransformasikan diri menjadi agile organization akan membuat organisasi tersebut menjadi lebih survive dan inovatif. Perpustakaan sebagai agile organization perlu meninjau kembali kinerja dengan cara-cara baru, disiplin baru, dan mengadopsi rutinitas baru sehingga menciptakan praktik pelayanan yang berkinerja tinggi. Mengadopsi inovasi pelayanan yang telah berhasil akan membuat pustakawan berinovasi dengan cepat.

Setidaknya diperlukan beberapa hal untuk membuat perpustakaan menjadi organisasi yang adaptif terhadap perkembangan jaman. Dibutuhkan prinsip-prinsip yang harus dipenuhi. Pertama, perpustakaan sebagai organisasi publik perlu mengubah mindset kinerja menjadi lebih terbuka dan responsif. Sumber daya dalam organisasi dapat digerakkan untuk lebih meningkatkan komunikasi di lingkungan kerja agar terbentuk pelayanan yang prima.

Kedua, dengan melakukan pendekatan yang menyerap aspirasi publik lebih dekat. Keterlibatan publik menjadi sangat penting dalam menentukan perbaikan berjalannya organisasi. Ketiga, yang tidak kalah penting adalah investasi pada sumber daya manusia yang inovatif. Agile organization akan tercapai melalui integrasi organisasi dengan kemampuan sumber daya manusia yang terampil dalam penggunaan teknologi.

Inovasi-inovasi yang dilakukan Perpustakaan Kota Yogyakarta tersebut sangat implementable. Seluruh perpustakaan dapat mengadopsi hal tersebut agar masyarakat semakin merasa bahwa untuk memperoleh literasi sangatlah mudah. Jika semua perpustakaan memiliki inovasi serupa bahkan lebih, pusat budaya bangsa dapat dengan mudah ditemukan dimanapun. Eksistensi keberadaan perpustakaan tidak akan tertutup arus teknologi yang sedemikian kuatnya dan perpustakaan pun telah siap menjadi agile organization.

Perpustakaan hadir sebagai tempat karya anak bangsa dilestarikan untuk dapat diteruskan kepada generasi-generasi kedepannya. Inilah tanggung jawab besar bagi perpustakaan sebagai simbol peradaban dalam menjaga kebudayaan bangsa. Kondisi sosial budaya di masyarakat yang terus berubah menjadi tantangan perpustakaan untuk beradaptasi.

Akses teknologi yang terus berkembang turut mendorong peran perpustakaan sebagai sumber literasi. Perpustakaan kini telah kita lihat menjadi go-digital. Perpustakaan mentransformasikan diri sebagai rujukan yang bisa diakses dimanapun dan kapanpun. Inilah suatu bentuk kesiapan perpustakaan berinovasi dengan perkembangan jaman.

Referensi:

  • https://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/tentang-gln/
  • https://arsipdanperpustakaan.jogjakota.go.id/index.php#
  • Holbeche, Linda. 2015. The Agile Organization:How To Build An Innovative, Sustainable And Resilient Business. Philadelphia:Kogan Page.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak