Senyuman lebar, tawa riang, kebahagiaan, dan mata ceria berbinar dengan latar belakang pantai atau lokasi alam ternama nan menakjubkan seolah menjadi tampilan gambar yang sudah menjadi standar baku juga paten di laman media sosial.
Pun juga menampilkan momentum peraihan prestasi, kegairahan menikmati hidup, plus kekayaan dan kesuksesan ikut ditampilkan sebagai pernak pernik gambaran citra diri di media sosial.
Seolah menjadi konsensus dan aturan bersama di media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter atau media sosial lainnya, ditampilkan bagian kehidupan penuh rona dan kepingan indah seperti momen kebersamaan dengan sahabat, menikmati makanan mewah di restoran, membeli mobil baru, kebahagiaan menuai keberhasilan karir hingga kisah hidup gemerlap berseri seri.
Itu semua bak sudah wajib hukumnya untuk dipertontonkan di jagat maya, baik melalui unggahan gambar, foto profil, postingan, atau kolom cerita. Sedikit sekali mereka yang berani menampilkan duka lara kehidupan, kegagalan, kebangkrutan, masalah berat, hingga kisah pedih nan lara serta terpuruknya kondisi menjalani lika liku hidup di dunia.
Seolah perasaan sedih, pilu, tertekan, getir, gelisah, stres, kecewa, dan kosong dalam dilema kehidupan yang tak menentu ini menjadi tabu untuk disajikan dan dinikmati bersama. Pun juga dengan sisi kepribadian yang negatif, kebiasaan aneh, pengalaman memalukan, serta tabiat buruk, cenderung dihindarkan dari panggung pertunjukan rekaan itu.
Padahal semua itu sudah menjadi satu bagian tak terpisahkan dalam diri dan menjadi pelengkap hidup manusia menjadi lebih bermakna. Yah, walau pada akhirnya memang menjadi terkesan penuh kepalsuan dan topeng di permukaannya saja.
Yang ada kini, saking menjadi sebuah tuntutan, banyak orang malah memaksakan diri dengan menyewa sebuah hotel atau berkunjung ke objek wisata yang di luar kemampuannya hanya demi lukisan indah perias diri semata.
Media sosial yang pertamanya diciptakan sebagai sarana bersosialisasi, berkomunikasi, berintegrasi, berkomunitas, menyampaikan ide dan gagasan, kini cenderung berubah menjadi sebuah wahana pembentukan persona diri yang malah memberatkan dan menyengsarakan penggunanya.
Benarkah mereka yang memajang foto-foto keindahan dan kesempurnaan tersebut sama sekali tidak merasakan drama legam sakitnya kehidupan?
Jawabannya pasti tidak. Tak seorang pun di dunia ini yang akan terlepas bebas dari pergulatan dan pergumulan hidup yang penuh problema lengkap dengan perasaaan negatif atau sikap batin yang tak terhindarkan dalam menghadapi kesengsaraan atau tekanan di dalamnya.
Pun juga tidak memiliki sisi hitam dan masalah dalam struktur kepribadiannya. Memang sudah menjadi sifat dasar dan alami manusia, di mana ia lebih suka menonjolkan sisi dan bagian terbaik kehidupannya sementara menutup rapat-rapat dan membuang jauh jauh sisi dan bagian kelam karakter dan juga bobrok kehidupannya.
Tengok saja, pajangan dan deretan foto di ruang tamu rumah kita. Pasti di sana akan tergantung foto tentang memori kebahagiaan wisuda, naik kelas, pelantikan kenaikan jabatan, kegembiraan pergi ke objek wisata favorit, hingga deretan sertifikat pengakuan soal kompetensi diri.
Sebagai manusia, kita seolah tak ingin potret kelam, keterbatasan, dan kelemahan diri dilihat serta dinikmati oleh orang banyak. Di satu sisi yang sama, justru ingin menampakkan kemegahan dan keindahan diri dan potongan kehidupan menarik di depan orang banyak pula.
Selain juga di dalam kehidupan sosial, memang sudah menjadi naluri manusia untuk ingin diterima, dihargai, dan dicintai oleh lingkaran sosial di sekitarnya, termasuk di media sosial.
Pada akhirnya media sosial menjadi salah satu media dan saluran agar salah satu kebutuhan ini terpenuhi. Walau terkadang, seseorang terpaksa harus merepotkan dan menyusahkan diri demi mencapai sebuah gambaran dan tampak diri yang serba menawan.
Di sisi lain, kemudahan dan begitu sederhananya mengoperasikan media sosial, menjadikan seseorang lebih mudah membentuk persona diri demi melancarkan kepentingan dan urusan lainnya. Baik untuk kepentingan bisnis, usaha, pencapaian karier, atau membaur dengan orang atau kelompok lainnya.
Memang tidak salah untuk membangun sebuah citra dan persona diri di media sosial sebagai sebuah kebutuhan dan kepentingan yang bersifat manusiawi. Hanya saja, yang mungkin perlu kita tanamkan bahwa tak sepatutnya harus memaksakan diri dan bertindak berlebihan demi menancapkan persepsi dan imaji yang kita inginkan.
Hal ini justru membuat kita semakin bergeser dan menjadi pribadi dan sosok yang serba dipaksakan, menciptakan obsesi dan tuntutan yang berat bagi diri sendiri, serta yang paling berbahaya adalah kehilangan jati diri kita sendiri yang unik dan kaya demi sebuah keseragaman yang palsu.