Awal Juni 2021, Indonesia mengalami lonjakan kasus covid-19, yang menyebabkan pemerintah memberlakukan PPKM Darurat per 3 Juli 2021 untuk wilayah Jawa Bali kemudian menyusul di Provinsi lainnya, yang memunculkan polemik baru di tengah masyarakat.
Masyarakat menilai kebijakan pemerintah terlihat tidak siap dan ragu, sehingga kebijakan antara penyelamatan kesehatan dan ekonomi masih sulit diprediksi ke mana arahnya. Kebijakan yang harus dibuat pemerintah bagai jauh panggang dari api.
Analisa Salah Arah
Kesan semrawut penanganan covid-19 tidak terlepas pernyataan-pernyataan yang dibuat pemerintah melalui pejabat Negara yang sekenanya.
Seperti tentang lonjakan pasien covid-19 pasca lebaran, bahwa penuhnya rumah sakit disebabkan karena masyarakat yang tidak “nurut” agar tidak mudik lebaran. Sedangkan, menyadur Antara, tanggal 20 Juni 2019 bahwa jumlah pasien di rumah sakit meningkat hingga 20% dibanding hari biasa. Terutama penyakit diabetes dan hipertensi.
Di dalam media yang sama, menurut Guru Besar bidang Keamanan Pangan dan Gizi, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB Prof Ahmad Sulaeman, meningkatnya jumlah pasien pasca-Lebaran terjadi hampir setiap tahun, didominasi karena kebiasaan buruk pola makan yang tidak terkontrol.
Berarti lonjakan pasien pasca lebaran ini bukan hanya terjadi ketika covid-19. Namun, sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
Apakah ini alasan mengapa banyak masyarakat kita yang mulai tidak peduli segala saran pemerintah. Apalagi masyarakat yang sudah sangat terjepit kondisi ekonomi yang merupakan dampak dari pembatasan wilayah. Sedangkan pemerintah tidak mampu menopang kebutuhan sehari-hari masyarakat terutama ekonomi menengah kebawah.
Krisis Ekonomi dan Profesi Dokter
Sudah satu tahun lebih Indonesia berada pada kondisi krisis ekonomi. Maka, sudah bisa dibayangkan bagaimana kerusakan ekonomi yang merupakan dampak dari pandemi ini.
Dampak lain yaitu profesi dokter menjadi sorotan dan menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat kita. Kasus yang terjadi beberapa hari yang lalu, di mana seorang dokter yang melontarkan kritik pedas kepada asosiasi yang mewadahi profesi dokter dan tidak percaya adanya virus corona sehingga viral di media berita elektronik dan media sosial. Meski kasus seperti ini bukan yang pertama.
Para dokter seperti berbalas argument di media online terkait pandangan mereka terhadap pandemi ini. Miris, karena bagaimana pun profesi dokter yang mengedepankan tugas mulia menyelamatkan jiwa seperti terpecah. Profesi dokter yang sebelum pandemi begitu solid dalam mendukung sesama rekan sejawat, kini terbelah.
Rekam Jejak Profesi Dokter
Pandemi ini memperlihatkan kepada kita bahwa profesi dokter di Indonesia ternyata tidak solid seperti yang pernah muncul di permukaan. Bukan tanpa sebab, stigma negatif dokter terus berkembang dan akan menjadi boomerang bagi dokter dibawah naungan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di kemudian hari.
Karena sebelum pandemi terjadi, data BPS mengungkap sebuah fakta bahwa lebih 70% masyarakat kita tidak memilih rumah sakit jika sakit, tapi lebih ke pengobatan mandiri. Menyebabkan apotik dan laboratorium semakin ramai dikunjungi orang pada masa sebelum covid-19, tanpa harus melalui perantara dokter ataupun rumah sakit.
Ini menandakan secara ekonomi bahwa bisnis laboratorium dan farmasi berkembang begitu pesat, dan perlahan menggeser keberadaan dokter medis. Belum lagi pesatnya perkembangan pengobatan alternatif.
Di pulau Jawa banyak klinik pengobatan alternatif yang ramai dikunjungi pasien. Jika diperhatikan, mereka yang datang tidak sedikit yang berpendidikan tinggi dan ekonomi kelas menengah atas, meski fasilitas klinik tidak semewah rumah sakit bahkan lebih terkesan seadanya.
Tapi pasien hadir dari berbagai kota di seluruh Indonesia yang rela antri dari pagi buta hingga malam menjelang. Pasien dan keluarga yang datang bahkan mengendari kendaraan mewah dari merk-merk ternama. Karena itu pengobatan alternatif sampai menjadi target negara dalam penerimaan pajak.
Dokter atau ahli terapis di klinik pengobatan alternatif, bukan dari orang awam sembarangan. Tidak sedikit yang berlatar belakang pendidikan dokter formal. Dan ada yang belajar ilmu pengobatan alternatif tanpa tindakan/obat medis hingga ke luar negeri, salah satunya Jepang.
Sehingga, IDI seharusnya berbenah dari sekarang, apalagi di masa pandemi ini, edukasi dan sosialisasi haruslah menggunakan pendekatan yang lebih humanis dan dengan hati nurani kepada masyarakat, bukan dengan kekerasan dan kata-kata cacian yang juga keluar dari beberapa dokter di media sosial yang justru tercatat sebagai anggota IDI.
Sudah seharusnya para dokter tidak memberi edukasi dengan kesan menakut-nakuti, seperti pemasangan monument keranda mayat, hingga menyebar statement “kalau tidak mau mati maka harus vaksin”.
Nenek moyang Bangsa Indonesia adalah pejuang, tidak akan pernah bisa ditakuti dengan kata-kata kematian. Sehingga seharusnya gunakan kalimat yang memberi kesan optimis dan semangat, seperti yang dilakukan oleh para dokter yang justru berseberangan dengan IDI, hingga dampaknya mendapat banyak dukungan dari sebagaian besar masyarakat.
Kehadiran dan Peran Pemerintah
Dibutuhkan kerjasama ketika Negara dalam keadaan darurat seperti ini, dengan mengedepankan rasa tolong menolong. Ini bukan sepenuhnya tanggungjawab dokter, karena bagaimana pun, persepsi terbentuk di masyarakat, bahwa pandemi ini bukan mutlak masalah kesehatan tetapi seperti ada arah sistemik yang bergerak secara global, yang seolah tidak terbaca oleh pemimpin dan pejabat negara.
Maka, pengangkatan Menteri Kesehatan pada tanggal 23 Desember 2020 yang bukan berlatar belakang pendidikan kesehatan semakin menambah deret panjang alasan masyarakat kita tidak mempercayai kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan masyarakat, tetapi justru lebih kearah “kepentingan golongan/kelompok tertentu terutama dari sisi bisnis”.
Kita masih berharap Indonesia bisa bangkit secepatnya dari keterpurukan, tanpa harus mengikuti dan copy paste penuh apa yang dilakukan Negara lain, karena bagaimana pun masyarakat kita yang terlahir dengan beragam keyakinan agama, adat dan budaya sudah pasti memiliki cara pandang yang berbeda-beda tidak seperti masyarakat di benua Amerika dan Eropa.
Selain itu dengan tanah Indonesia yang subur, maka pengobatan ala tradisional seperti tanaman obat dan buah begitu diminati masyarakat kita. Seharusnya Negara melihat ini bukan sebagai suatu rintangan tapi harus dijadikan peluang untuk segera menemukan obat alternatif yang tidak memberatkan anggaran Negara agar tidak harus menambah utang.
Oleh: Trismayarni Elen, S.E., M.Si, Praktisi dan Akademisi Akuntan//Pemerhati Bisnis dan Keuangan UMKM