Kebosanan yang melanda pelajar akibat siswa di rumah, coba diakali guru-guru dengan memodifikasi pembelajaran. Beragam kegiatan belajar mengajar yang keren dan terlihat modern ramai-ramai dipraktikkan untuk siswanya. Siswa ya nurut-nurut saja, seperti wayang yang membeo dalang.
Alasan supaya siswa tidak bosan dengan kegiatan yang itu-itu saja, akhirnya tercetuslah ide-ide memodifikasi kegiatan pembelajaran. Mulai dari presensi online yang harus diakses dengan akun email tertentu, hingga kegiatan penyampaian materi yang super beragam. Dari penggunaan aplikasi powerpoint, video, Google Classroom, Google Meet, Zoom Meeting, blog dan banyak lagi lainnya.
Kegiatan asesmen atau penilaiannya beda lagi. Dari pemanfaatan aplikasi berbasis games seperti word wall, qiuzizz, thinglink, dan masih banyak lagi. Ada juga pemanfaatkan media sosial seperti TikTok, Instagram, YouTube, story WA, serta masih banyak cara-cara yang guru lakukan untuk melakukan asesmen.
Yakin semua usaha itu sanggup menepis kebosanan siswa? Jadi ingat beberapa waktu lalu ada video viral siswa lagi nangis. Dalam video, siswa menangis pilu sambil menunjukkan buku pelajaran.
Ia terisak sambil terbata-bata menyampaikan keluhannya tentang betapa banyaknya tugas yang diberikan guru. Katanya di video, dalam sehari ada beberapa mata pelajaran. Gurunya berbeda. Tugasnya berbeda.
“Ini yang mau dikerjain yang mana dulu? Susah semua. Bingung aku mau tanya siapa," Keluhan itu diucapkannya dengan kesal dan putus asa.
Sempat pula saya baca cuitan di story WA salah satu orang tua. Kalau saya perhatikan, isi story WA itu ditujukan untuk guru anaknya.
“Aduh Bu, kemarin pakai Zoom. Hari ini pakai Google Meet. Semoga besok gak balik pakai Zoom lagi. Udah uninstall karena memori HP gak muat pasang banyak aplikasi.” Si ibu tampaknya mengeluhkan adanya variasi belajar yang dengan menggunakan aplikasi berbeda-beda.
Selain alasan menyiasati kebosanan, alasan lain yang mendasari guru berlomba-lomba menghadirkan pembelajaran yang tampak keren adalah ingin mendapat nilai paling otentik dari siswa. Selama ini muncul dugaan nilai siswa dari pembelajaran daring kurang valid. Dengan dasar bahwa siswa bisa saja bertanya jawaban kepada orang lain atau ikut tren tanya mbah Google.
Tapi apa benar dengan beragam cara yang sudah saya sebutkan tadi, dapat menjadi alat akurat validasi nilai siswa? Untuk menemukan jawabannya, mari saya ajak menyimak pengalaman siswa belajar daring melalui jumpa virtual Zoom.
Saat jadwal pembelajaran jumpa virtual Zoom, seorang guru memberi pertanyaan pada siswanya. Guru menanyakan seputar hasil perkalian dua bilangan dan siswa menjawabnya secara lisan. Dengan sungguh- sungguh guru memperhatikan cara siswa menjawab. Sesaat siswa tampak berpikir. Pandangannya menatap jauh, keningnya mengernyit seperti orang sedang serius berpikir.
Guru masih antusias menunggu jawaban siswanya. Harapan terbesarnya siswa menjawab dengan benar dari hasil berpikirnya yang sangat meyakinkan. Akhirnya siswa membuka mulutnya, mulai mengeluarkan kata- kata. Pelan sekali bahkan terdengar seperti bisikan. “Berapa? Gak dengar, berapa Ma?”
Ternyata siswa tersebut sedang berusaha disemprong mamanya untuk jawab soal dari guru. Berasa nonton Who Wants to Be a Millionaire. Siswa yang diberi pertanyaan duduk di kursi panas. Kalau kesulitan menjawab, minta bantuan pakai ask the audience atau phone a friend ke mamanya.
Mau diakali dengan cara bagaimanapun, profesi guru tidak bisa digantikan dengan alat atau bahkan robot secanggih apapun. Guru memegang peran utama sebagai perantara informasi, pengawas, penilai, dan pengevaluasi pembelajaran. Tentunya semua peran ini hanya bisa berjalan sesuai tujuannya jika pelaksanaan pembelajaran dilakukan secara klasikal.
Memang belajar tidak harus di sekolah, tapi kehadiran guru dan siswa di satu ruang dalam kegiatan pembelajaran tak dapat diwakilkan atau digantikan. Mau belajar di kelas, di alam terbuka, atau bahkan di rumah sekalipun. Guru dan siswa baiknya hadir bersama dan berinteraksi langsung.
Jika kondisi memaksa pembelajaran harus daring, anggapan model pembelajaran yang bervariasi dapat meningkatkan motivasi siswa hendaknya perlu dikaji ulang. Masalah kebosanan siswa hakikatnya didasari kerinduan sekolah. Rindu berjumpa guru dan teman. Rindu bermain di halaman. Rindu ke kantin beli jajan.
Tak selamanya variasi menghadirkan solusi. Variasi pembelajaran di masa pandemi seperti ini justru bisa menimbulkan tekanan fisik dan pikiran. Guru dan siswa belajar hal-hal baru yang serba digital, serba daring dan canggih. Kehadiran hal- hal milenial yang tidak dibarengi kesiapan mental, keterampilan dan keahlian yang mumpuni justru bisa menimbulkan masalah baru.