Kehilangan kucing kesayangan pada tahun 2021 sungguh menjadi pengalaman yang tak akan terlupakan. Kucing lucu yang biasanya membersamai hari-hari orang rumah, kini hanya tinggal kenangan.
Benar, tiada yang tahu kapan ajal datang. Datangnya pun tiba-tiba, tanpa memberi peringatan. Si kucing kecil bernama Nini ternyata ditakdirkan tidak lama dirawat oleh kami yang amat sayang padanya.
Bulan yang lalu menyimpan duka tersendiri bagi aku, ketiga putra dan putriku. Sebab, Naini pergi begitu saja, tanpa berpamitan kepada kami semua.
Naini adalah kucing angkat. Dia diletakkan di rumah tetangga bersama kedua saudaranya yang lain. Kasihan sekali Naini dan saudaranya yang masih kecil itu. Kutaksir, usia mereka baru sebulan, mirip seperti bayi kucingku yang baru seminggu mati. Bedanya, badan Naini dan kedua saudaranya lebih besar sedikit dari kucingku.
Di tengah kedukaan karena kehilangan anak, ibu kucingku akhirnya mau menyusui Naini dan saudaranya. Rasa sayang ibu kucingku kepada anak angkatnya itu sangat besar. Dia tidak beranjak dari kardus bila tidak makan, minum, atau buang air. Mungkin dia takut merasakan kehilangan anak lagi.
Seiring waktu, kedua saudara Naini tidak bisa bertahan hingga meninggalkan Naini sendiri bersama kucingku yang sudah remaja, Oneng. Bersama Oneng, Naini kecil dilatih bermain. Mereka sangat akrab sekali. Kadang, Naini dipeluk erat oleh Oneng. Padahal, ukuran badannya sungguh jauh berbeda.
Pagi itu Naini masih lincah. Dia berlari dengan cepat memasuki rumah, berkejaran dengan Oneng. Makannya pun banyak. Wajar sih, Naini makan banyak karena semakin hari keterampilannya kian bertambah. Akhir-akhir ini, Naini suka sekali mengikuti Oneng naik ke atas pagar yang diberi jejaring di atasnya.
Sorenya, setelah memberi kucing-kucingku makan, aku dan anak-anak pergi mengaji di mushola. Namun, kecurigaanku muncul saat menyadari Naini, Oneng, dan ibunya tidak menghampiri kedatangan kami dari mushola. Suasana depan rumah sepi dari suara Naini dan Oneng. Namun, aku tetap berprasangka baik, mungkin mereka sedang bermain di rumah tetangga sebelah.
Setelah salat isya', aku memanggil mereka. Namun, etap tidak disahut seperti kebiasaan mereka. Akhirnya kuputuskan untuk memejamkan mata malam itu dengan ketakutan di dalam hati.
Keesokan paginya, setelah selesai menyiapkan sarapan, aku memanggil Oneng, Naini, dan ibunya. Namun, yang datang hanya Oneng, Naini dan ibu belum terlihat wujudnya. Lalu, aku bicara dengan Oneng. "Adek ke mana, Neng?" tanyaku. Oneng mengeong mendengarnya. Dengan tetap mengeong, Oneng berjalan, lalu menjilat sesuatu di dekat pagar.
Betapa terkejutnya aku saat si kecil Naini sudah kaku di antara polibag tanamanku. Air mataku hendak menetes kala itu. Terbayang lagi tingkah Naini selama bersama kami. Hatiku terasa perih, lidahku keluh. Tak ada lagi suara cerewetnya di pagi hari.
Segera saja kupanggil anak-anakku. Kedua anakku menangis, lalu masuk kamar menutup wajahnya dengan bantal. Sementara yang lain melihat Naini dengan wajah murung. Teman bermain mereka sudah pergi dan tak akan kembali.
Aku memanggil ibunya. Namun, sang ibu tidak datang. Aku tahu dia sedang berduka dan menyendiri di suatu tempat. Aku ingin memeluknya. Namun, si ibu baru pulang keesokan paginya.
Setelah bertemu dengan si ibu, aku katakan kepapanya. "Bu, jangan bersedih ya. Masih ada Oneng." Kuelus badannya, matanya sayu. Aku sedih melihatnya.
Kehilangan memang tidak menyenangkan, tetapi lebih tidak menenangkan saat hidup tidak bisa bertahan karena kepergian yang disayang.