Bulan November 2021, telah mempertontonkan kepadaku suatu momen yang justru tak sejalan dengan arus berpikirku kala itu, entah aku yang terlambat atau karena memang kebetulan. Tentu sekilas akan bertanya ada apa? Iya, di penghujung tahun 2021 ini, akan aku coba arsipkan keresahan ini, walau hanya dalam bentuk tulisan.
Tanpa bicara panjang lebar, waktu itu saya berkunjung ke Perpustakaan Daerah, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, dengan tujuan ingin belajar dengan suasana tenang. Pikirku, namanya Perpustakaan tentu akan memberikan pelayanan terbaik kepada setiap yang berkunjung, mematuhi segala peraturan Perpus, dan yang terpenting adalah tidak membuat keributan, apalagi sampai membuat orang lain terganggu.
Melalui kunjungan perdana saya itu, justru saya dikejutkan dengan suasana Perpustakaan Majene, menotabenekan layaknya seperti pasar. Bersama tiga teman saya, dengan tujuan agar dapat membaca dalam keadaan tenang dan bisa fokus.
Namun, entah kenapa malah dihadapkan dengan suasana yang sangat ribut, tak ubahnya seperti orang-orang yang sedang mengikuti undian arisan, suara kencang bahkan tertawa terbahak-bahak telah merasuki telingaku saat ingin mencoba fokus membaca.
Bersama dengan tiga teman saya itu, kami menyaksikan dan merasakan keributan terjadi di Perpustakaan Majene. Lucunya, bukan pengunjung yang ribut, tetapi para pegawai Perpus sendirilah yang melakukan itu. Entah dengan tema pembicaraan apa yang mereka bicarakan, sehingga mereka tidak mampu mengontrol cara bicaranya secara pelan-pelan.
Bukan maksud untuk menjelek-jelekan kinerja dari pegawai Perpustakaan Majene, bukan pula menyalahkan pembicaraan mereka yang keras, tetapi konteksnya sangatlah tidak tepat. Mungkin mereka lupa bahwa ia sedang berbicara di ruangan yang seharusnya dilarang ribut/berbicara keras, karena akan mengganggu orang lain yang sedang belajar. Bukankah sejatinya Perpustakaan akan mengutamakan untuk meringkus setiap keributan yang dapat mengganggu pembaca, artinya melarang orang ribut, saya pikir seperti itu kira-kira.
Iya, mungkin saja ada yang menganggap bahwa cerita ini sifatnya hanya subjektif saja, tetapi inilah yang betul-betul saya rasakan saat kunjungan perdana ke Perpustakaan Majene, malah langsung dihadapkan dengan kondisi keributan. Alhasil, kala itu banyak muncul pertanyaan pada benak pikiran saya, di samping itu pula keseriusanku untuk membaca tak pernah bisa normal, akibat suara keributan dari pegawai Perpustakaan Majene.
Awalnya, saya berpikir bahwa pembicaraan mereka yang keras itu tidak akan berjalan lama, namun nyatanya tidak, suara keras dari pegawai Perpustakaan Majene tak pernah berhenti mengganggu konsentrasi saya membaca, sejak mulai datang hingga pulang waktu itu. Sehingga dari situ saya berkesimpulan, bahwa Perpustakaan Majene mesti dievaluasi agar tidak mendapatkan stigma buruk.
Sebenarnya, saya bersama tiga teman telah menyempatkan untuk menegur mereka pegawai Perpustakaan Majene agar tidak ribut. Akan tetapi, mereka malah meminta untuk memakluminya, dengan alasan tidak selamanya juga ribut seperti itu terus dilakukan. Kemudian, alasan lain dari pegawai Perpustakaan Majene bahwa mereka sedang ada rapat mendadak yang harus diselesaikan.
Iya, kami pun tidak terlalu mempermasalahkan, yang terpenting teguran itu sudah tersampaikan dengan harapan agar mereka cepat sadar. Namun, teguran dari kami dianggap hanya angin berlalu saja, mereka tetap juga masih melanjutkan ributnya walau sempat sih berhenti beberapa menit. Maka tak ada pilihan lain, saya pun berusaha untuk menerima keributan mereka, sembari berusaha untuk tetap fokus membaca, walaupun sebenarnya sangat mengganggu.
Tak lama setelah kejadian itu, saya kembali berkunjung ke Perpustakaan Majene. Namun kali ini, saya hanya seorang diri yang tidak bersama lagi dengan tiga orang teman. Awalnya, saya berpikir bahwa tidak akan ribut lagi, ternyata harapan saya salah, lagi-lagi hal serupa saya rasakan, para pegawai Perpustakaan Majene kembali berbicara kencang dan mengganggu konsentrasi saya membaca.
Kembali saya berpikir, memang ributnya pegawai Perpustakaan Majene bukan karena kebetulan, tetapi sudah membudaya. Hal serupa juga yang dirasakan teman-teman saya yang lain, mereka menilai bahwa suasana Perpustakaan Majene memang ribut dan mengganggu para pengunjung.
Hal itu mungkin saja disebabkan karena tidak ada ruang khusus bagi pegawai yang hobi berbicara dengan nada keras, sehingga ruangan malah satu tempat antara orang ribut dan orang yang membaca, repot kan. Alhasil, jadinya tentu amburadul dan yang menjadi korban adalah si pembaca.
Meskipun, keresahan saya ini tidak berpengaruh apa-apa kepada pegawai Perpustakaan Majene, apalagi sampai membuat mereka tidak ribut lagi. Namun, setidaknya cerita ini bisa diarsipkan secara baik-baik, melalui tulisan saya ini.
Semoga saja saat tahun 2022 tiba, suasana Perpustakaan Majene sudah dapat meminimalisir keributannya ketika ada pengunjung yang datang. Tentu semua sepakat, bahwa orang-orang yang ribut di Perpustakaan sudah pasti melanggar kode etik Perpustakaan. Ditambah pula dengan adanya aturan terpampang di dinding yang bertuliskan "dilarang ribut."
Harapan saya, semoga pemerintah setempat dapat memberikan teguran kepada pegawai Perpustakaan Majene agar tidak ribut saat di ruangan membaca, selain karena sudah menodai citra pegawai Perpustakaan, juga tentu melanggar aturan moralitas.
Selanjutnya, mesti diingat bahwa kesadaran dan kepekaan terhadap sesama haruslah selalu dipertanyakan. Apakah kita menyadari bahwa setiap langkah atau gerak-gerik yang dilakukan, sebenarnya ada pengaruhnya pada orang lain? Apakah kita sadar, bahwa setiap perbuatan yang dilakukan sebisa mungkin tidak mengganggu hak orang lain? Atau, apakah kita mampu secara profesional menempatkan diri kita pada setiap ruang dan waktu?