Bercerita tentang tahun 2021, suatu periode yang diawali dengan sebuah harapan. Harapan besar bahwa pandemi mungkin berakhir dan kondisi berangsur membaik. Namun seiring waktu berjalan, harapan itu seolah menjauh pelan-pelan. Terlebih ketika terjadi lonjakan kasus dan memberi imbas buruk ke banyak bidang.
Banyak berita-berita sedih berseliweran di media. Tak terbendung melontarkan peluru-peluru kegelisahan dan kekhawatiran. Ketika semakin banyak orang kehilangan pekerjaan dan warta-warta dukacita silih berganti. Kian banyak konten-konten penderitaan wara- wiri di media sosial.
Semula mungkin hanya seperti menonton film. Sedih, tapi ada perasaan bahwa gambaran itu jauh dan hanya cerita. Namun, ketika ternyata kemudian orang-orang yang kita kenal tiba-tiba terkena PHK. Ada saudara, kenalan, teman, sahabat yang mendadak menjadi pengangguran. Semua begitu menyesakkan dan rasa sakitnya pun nyata.
Sedih kala diri pun tak bisa banyak membantu. Karena walau tak sampai kehilangan pekerjaan, bukan berarti kondisi saya baik-baik saja. Saya tak menceritakan apapun yang terjadi di dalam pekerjaan kepada orang lain. Saya pikir, mereka sudah cukup banyak masalah. Serta, tak ada gunanya saya menambahkan keluh kesah yang akan semakin menarik mereka ke dalam frekuensi negatif.
Saya hanya mengindikasikan bahwa kantor tempat bekerja juga terkena imbas pandemi. Itu agar mereka bisa memaklumi jika saya tak bisa membantu kondisi mereka dengan maksimal. Dengan gaji yang mengalami pemotongan, saya berusaha melihatnya sebagai hal yang positif. Setidaknya, saya masih menerima gaji dan bisa sedikit berbuat walau harus membuat prioritas.
Lalu menjelang awal semester kedua, mimpi buruk justru seakan mendekat. Pemasukan terus menurun dan berlanjut dengan isu pengurangan SDM. Adalah benar targetnya adalah SDM yang berstatus outsourcing dan saya bukan salah satunya. Namun, mereka sudah seperti keluarga saya sendiri yang sudah bertahun-tahun bekerja di kantor.
Setiap hari ada rasa sedih, saat melihat beberapa dari rekan kerja kami tidak akan bersama lagi beberapa waktu ke depan. Rasanya tidak adil. Beberapa dari mereka benar-benar karyawan yang punya loyalitas. Walau ada rasa marah karena tak bisa membantu apapun, rasa sedih terasa lebih besar membayangkan apa yang akan terjadi pada rekan-rekan outsourcing dan juga imbas bagi keluarganya.
Benar, saya hanyalah karyawan biasa dan tak punya kuasa. Tentu itu menyesakkan sekali. Saya hanya bisa menyemangati mereka dan berharap ada keajaiban terjadi.
Mendekati akhir tahun, itu bukan lagi mimpi buruk tapi sudah benar-benar berwujud monster bernama pengakhiran kontrak. Teman-teman saya tinggal menunggu hari menjadi jobless. Saya menangis diam-diam tanpa mereka tahu.
Lalu ada sedikit perubahan, kebijakan baru menyebutkan bahwa tidak semua outsourcing tidak diperpanjang kontraknya. Akan ada tes lagi dan beberapa yang lolos kualifikasi akan tetap dipekerjakan. Ini adalah berita gembira. Walau tak bisa menyelamatkan semuanya, setidaknya beberapa di antaranya masih punya kesempatan.
Sampai saya menulis ini, proses itu masih berjalan. Saya hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mereka. Dan dari kekecewaan karena tak punya daya membantu mereka. Ini membuat saya berpikir seandainya saja saya mempunyai usaha, mungkin saya bisa membantu banyak orang. Saya mencatat banyak ide dan berusaha berpikiran terbuka. Saya mengesampingkan pemikiran bahwa bisnis harus besar dan tak akan bisa tanpa modal.
Segala kenekatan membawa pada sebuah konsep, saat ini saya sudah memulai untuk memiliki usaha sampingan. Walau kecil, setidaknya sudah memulai. Kelak semoga bisa bermanfaat dan bisa membantu orang lain.
Everything happens for a reason, sometimes it’s all a blessing in disguise. Kadang-kadang suatu masalah menyembunyikan suatu berkah. Semoga kita semua bisa menemukan berkah itu.