Kesiapan Kebijakan Pendaerahan PBB-P2 yang sudah diimplementasikan sejak tahun 2014 ini masih belum memenuhi beberapa prinsip kebijakan pajak yang baik. Pemerintah dalam mengelola jalannya negara memiliki hak dan kewajiban yang salah satu-nya adalah mengelola keuangan negara. Hal ini diatur di dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pengelolaan keuangan negara oleh pemerintah tercermin dalam APBN (Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara), di mana salah satu aspek APBN sendiri adalah penerimaan.
Pajak merupakan penerimaan negara terbesar. Pajak memiliki arti sebagai iuran yang dibayar oleh rakyat kepada negara, yang diatur dalam undang-undang tanpa mendapat kontra prestasi langsung dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum negara.
Dari tahun 2016 sampai 2019, pajak menjadi penyumbang terbesar penerimaan negara di mana pada setiap tahunnya, pajak menjadi penyumbang lebih dari 75% dari total penerimaan negara (BPS 2020). Atas besarnya kontribusi penerimaan pajak terhadap pendapatan nasional, keberhasilan pembangunan nasional sangat ditentukan dari tingkat penerimaan pajak. Sehingga, syarat untuk mencapai target penerimaan setiap tahunnya harus membentuk kebijakan pajak.
Berdasarkan kewenangan pemungutannya, pajak di Indonesia dibedakan menjadi pajak pusat dan pajak daerah. Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pemungutan pajak ini terjadi karena adanya desentralisasi dalam pemerintahan atas dasar otonomi daerah. Pembagian kewenangan diperlukan terutama karena Indonesia merupakan negara yang luas. Untuk mempermudah koordinasi antar daerah satu dengan yang lainnya, sistem desentralisasi diperlukan. Berdasarkan UU No 28 Tahun 2009 terkait Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, pajaknya dapat dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
PBB-P2 dipungut oleh pemerintah pusat sebagai bentuk keadilan dan keseragaman pajak serta sebagai bentuk pencegahan dari keputusan pemerintah daerah atas PBB sesuai dengan kehendaknya masing-masing. Ketika masih dipungut oleh pemerintah pusat, hasil pemungutan dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) akan dibagi dengan pemerintah daerah, dengan persentase pembagian yaitu 90% untuk pemerintah provinsi dan kabupaten / kota serta 10% untuk pemerintah pusat. Dalam perkembangannya, pemungutan PBB ini mengalami kendala yang disebabkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai pemungut pajak harus melakukan beberapa fungsi sekaligus dalam memungut PBB.
Selain dari adanya permasalahan yang terjadi, beberapa dasar pemikiran adanya peralihan PBB-P2 menjadi pajak daerah adalah sebagai berikut:
- PBB-P2 lebih bersifat local di mana objek pajak dari PBB-P2 berada di wilayah yang dikelola oleh pemerintah daerah;
- Dengan adanya peralihan PBB-P2 menjadi pajak daerah, diharapkan dapat membantu meningkatkan Pendapatan Daerah (PAD) yang juga berpengaruh terhadap struktur dalam APBD;
- Peralihan PBB-P2 ini juga dalam rangka untuk meningkatkan transparansi dalam pengelolaannya serta meningkatkan pelayanan bagi masyarakat; dan
- Peralihan PBB-P2 berdasar kepada praktik di banyak negara di mana PBB-P2 atau Property Tax masuk ke dalam kategori Local Tax atau Pajak Daerah.
Atas alasan-alasan tersebut, kemudian pada tahun 2009 disahkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang di dalamnya mengatur mengenai peralihan PBB-P2 menjadi Pajak Daerah. Peralihan kewenangan dalam PBB-P2 ini meliputi pengumpulan data objek dan subjek pajak hingga penagihan PBB-P2 kepada Wajib Pajak, serta proses penyetoran pajaknya. Dalam implementasinya, peralihan PBB-P2 menjadi Pajak Daerah baru bisa efektif dilakukan oleh pemerintah daerah per 1 Januari 2014 dikarenakan adanya masa transisi, sekaligus dalam rangka persiapan dan pembentukan peraturan daerah masing-masing.
Setelah kurang lebih 6 tahun sejak pelimpahan wewenang pemungutan PBB-P2 diserahkan dari pusat ke daerah, nyatanya penerimaan PBB-P2 secara keseluruhan masih belum menunjukkan hasil yang optimal. Data yang dikeluarkan oleh Bank Dunia dalam laporan riset “Time To ACT: Realizing Indonesia’s Urban Potential” menunjukkan bahwa penerimaan PBB-P2 nasional hanya menyumbang sebesar 0,57% dari total PDB, salah satu yang paling rendah diantara negara-negara G-20.
Tidak adanya peningkatan yang signifikan terhadap penerimaan PBB-P2 disebabkan karena peralihan pajak sektor pedesaan dan perkotaan tersebut menjadi pajak daerah. Padahal, tujuan dari diterapkannya kebijakan tersebut adalah untuk meningkatkan penerimaan asli daerah (PAD) agar daerah terdorong untuk bisa lebih mandiri dalam proses pembangunan daerahnya.
Meskipun demikian, memang terdapat daerah yang mengalami peningkatan penerimaan PBB-P2 sejak pemberlakuan desentralisasi pemungutan PBB-P2 ke daerah. Seperti contohnya adalah wilayah DKI Jakarta, penerimaan PBB-P2 pada tahun 2019 sebesar Rp9,62 Triliun dan mengalami kenaikan sebesar 8% dari penerimaan tahun sebelumnya.
Namun, aada juga daerah yang penerimaan PBB-P2 nya belum optimal, sebagai contoh wilayah Bangka yang penerimaan PBB-P2-nya bahkan belum mencapai target Rp8,4 Miliar dengan realisasi pada tahun 2019 hanya sebesar Rp7,1 Miliar (BPS Statistik, 2020). Berdasarkan data tersebut, penerimaan PBB-P2 di Indonesia masih mengalami ketimpangan antar daerah, sehingga hal tersebut menjadi salah satu permasalahan dalam implementasi kebijakan PBB-P2.
Selain itu juga terdapat beberapa permasalahan yang dialami daerah-daerah dalam peng-implementasian pemungutan PBB-P2, yakni di antaranya terkait pemeliharaan database yang belum mumpuni, pelaksanaan penagihan yang belum memadai, serta belum adanya peraturan atau regulasi mengenai tata cara pengenaan PBB-P2 yang jelas, lengkap, dan mudah dipahami sesuai dengan kondisi terbaru pada saat ini yang menyebabkan piutang pajak menjadi tidak tertagih
Kurangnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di beberapa daerah turut berkontribusi dalam permasalahan pemungutan PBB-P2, sehingga pelaksanaannya masih belum dapat dilakukan secara optimal.
Association of International Certified Professional Accountants atau AICPA mengeluarkan sebuah panduan yang bertujuan untuk memberikan sebuah kerangka kerja, yang digunakan sebagai dasar atau prinsip dalam membuat sebuah kebijakan. Sehingga, kebijakan tersebut dapat berjalan dengan baik dan tepat sasaran. Khususnya dalam bidang perpajakan, adanya prinsip panduan ini digunakan sebagai dasar untuk mengevaluasi dan meningkatkan kebijakan serta peraturan pajak yang sudah ada.
Prinsip-prinsip tersebut yaitu Equity and Fairness, Certainty, Convenience of Payment, Effective Tax Administration, Information security, Simplicity, Neutrality, Economic growth and efficiency, Transparency and visibility, Minimum Tax Gap, Accountability to taxpayers dan Appropriate government revenues.
Implementasi Kebijakan Daerah untuk Pemungutan PBB-P2
Terdapat beberapa hal yang menjadi isu dari penerapan kebijakan pemungutan PBB-P2. Pertama, dalam kebijakan pendaerahan PBB-P2 ini, pemerintah pusat tidak hanya melimpahkan kewenangan untuk memungut PBB-P2 saja, tetapi juga ikut mewariskan piutang PBB-P2 kepada pemerintah daerah. Jumlah piutang pajak yang di-desentralisasikan ke daerah pun jumlahnya tidak tergolong kecil, sehingga mengakibatkan daerah memiliki piutang pajak yang membengkak.
Seperti halnya yang terjadi di provinsi DKI Jakarta, bahwa berdasarkan data Laporan Keuangan Daerah pada tahun 2020 didapati jumlah piutang PBB-P2 yang diwariskan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah DKI Jakarta mencapai Rp7,88 triliun. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp2,82 triliun dikategorikan sebagai piutang macet karena tercatat sudah berumur 5 tahun. Sementara itu, sebesar Rp1,36 triliun dikategorikan sebagai kualitas piutang diragukan karena tercatat sudah berumur 3 sampai 5 tahun.
Besarnya piutang pajak khususnya yang belum tertagih ini berkaitan dengan ketidaklengkapan data yang dimiliki oleh otoritas pajak pusat sebelumnya, sehingga saat dilimpahkan ke daerah pun piutang pajak tersebut sulit untuk ditagih karena tidak adanya data yang memadai. Hal ini menyebabkan tidak adanya kepastian mengenai berapa jumlah penerimaan PBB-P2 yang dapat diterima oleh pemerintah daerah, khususnya dari besaran jumlah piutang pajak tersebut.
Permasalahan ini berkaitan dengan prinsip appropriate government revenues, di mana sistem PBB-P2 ini tidak memiliki tingkat prediktabilitas yang memadai karena data yang dipunya oleh DJP sendiri pun tidak lengkap sehingga membuat pemerintah daerah tidak memiliki kepastian terhadap berapa jumlah penerimaan yang bisa didapatkan.
Akibat Adanya Perbedaan Kondisi Antar Daerah
Perbedaan kondisi antar daerah berpengaruh juga terhadap pengadopsian kebijakan pendaerahan PBB-P2. Hal ini dikarenakan pada saat pemindahan wewenang pemungutan PBB-P2 dari pusat ke daerah, tidak beriringan dengan transfer pengetahuan dari pusat kepada daerah. Seperti diketahui, pendaerahan PBB-P2 terbentuk sejak adanya UU PDRD tahun 2009 yang mulai dilaksanakan sejak tahun 2011 dan baru efektif dilakukan oleh pemerintah daerah serentak sejak tahun 2014. Adanya jarak 2 tahun untuk adaptasi bagi daerah serta transfer data dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terlalu singkat, mengingat Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang luas.
Setelah masa adaptasi 2 tahun ini juga terdapat masa transisi hingga tahun 2014 di mana pemerintah daerah hanya memiliki waktu hingga tahun 2014 untuk bisa merancang kebijakan sesuai dengan keadaan daerahnya masing-masing, dan membentuk sistem pemungutan PBB-P2 yang memadai. Selain itu, hingga tahun 2014 ini belum ada kebijakan yang mengatur mengenai sistem dan prosedur pemungutan pajak daerah terutama kebijakan yang dapat dijadikan pedoman oleh kepala daerah dalam merancang kebijakan mengenai PBB-P2 di daerahnya masing-masing.
Adapun yang menjadi acuan pemerintah daerah saat itu hanyalah berupa pedoman yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan pada tahun 2013 mengenai tata cara pemungutan PBB-P2. Pedoman ini tidak memiliki kekuatan hukum apabila dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian, barulah pada tahun 2016 diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2016 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah sebagai acuan pemerintah daerah dalam melaksanakan pemungutan pajak daerah, termasuk PBB-P2.
Akan tetapi, dalam PP No. 55 Tahun 2016 tidak ada peraturan mengenai ketentuan penagihan pajak daerah lebih lanjut. Dalam PP tersebut hanya mencantumkan definisi penagihan dan hanya mengatur mengenai sanksi yang akan dikenakan berupa sanksi administratif. 3 tahun kemudian, barulah ketentuan mengenai penagihan pajak daerah secara resmi dikeluarkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 207/PMK.07/2018 tentang Pedoman Penagihan dan Pemeriksaan Pajak Daerah.
Keterlambatan penerbitan regulasi ini menyebabkan daerah sempat mengalami kesulitan untuk melakukan penagihan piutang pajak karena belum adanya pedoman untuk mengatur hal tersebut. Selanjutnya, permasalahan yang muncul adalah walaupun pemerintah pusat sudah mengeluarkan pedoman untuk melakukan penagihan dan pemeriksaan, pemerintah daerah tetap perlu mengeluarkan regulasi yang disusun oleh pemerintah daerah itu sendiri. Hal tersebut menjadi penting agar pemerintah daerah mempunyai regulasi atau hukum pajak formal yang bersifat mengikat bagi daerahnya.
Namun, tidak semua daerah mempunyai kemampuan untuk membuat regulasi tersebut. Ketidakmampuan ini berkaitan dengan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing daerah baik dari sisi sumber daya manusia sampai teknologi yang digunakan, di mana tidak semua daerah memiliki kondisi dan kemampuan yang setara. Hal ini menyebabkan beberapa daerah tersebut belum bisa melakukan kewenangannya untuk melakukan prosedur penagihan pajak dengan optimal mulai dari penyanderaan sampai penyitaan oleh jurusita pajak, dan berlanjut kepada tidak tertagihnya piutang pajak yang ada. Artinya dalam hal ini, prinsip certainty tidak terpenuhi dari sisi pemerintah karena pemerintah daerah tidak memiliki kepastian hukum untuk menegakkan peraturan PBB-P2 khususnya dalam hal regulasi domestik daerah untuk melakukan penagihan pajak.
Berkaitan dengan hal tersebut, memang tidak semua daerah mengalami kesulitan untuk melakukan pemungutan PBB-P2 dan mengalami penurunan penerimaan pajak. Pasalnya, hal ini bergantung kepada kemampuan daerah masing-masing dalam hal ketersediaan hukum pajak yang bersifat formal atau prosedural dan juga sumber daya yang memadai. Namun, hal itu mengakibatkan adanya kesenjangan antar daerah dan mempengaruhi terwujudnya keadilan bagi para Wajib Pajak.
Bagi pemilik, tanah atau bangunan merupakan sebuah aset yang memiliki nilai. Apabila pemungutan PBB-P2 tidak dapat berjalan dengan optimal di seluruh daerah karena terkendala permasalahan diatas, maka hal tersebut menjadi tidak adil bagi daerah yang dapat melakukan pemungutan PBB-P2 dengan baik.
Di daerah yang memiliki regulasi dan sumber daya yang memadai cenderung tidak mengalami permasalahan-permasalahan tersebut, penegakan hukum pun tetap berjalan. Sehingga, Wajib Pajak di daerah tersebut terikat dengan regulasi yang ada dan berakibat pada tingkat compliance Wajib Pajak yang cenderung tinggi pula.
Sedangkan, hal tersebut cenderung akan berbanding terbalik bagi daerah yang mengalami kendala dalam pemungutan PBB-P2, di mana penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan maksimal karena tidak terpenuhinya regulasi dan sumber daya yang memadai, sehingga tingkat compliance Wajib Pajak terhadap pembayaran PBB-P2 akan menurun karena minimnya enforcement dari pemerintah dan berpengaruh terhadap jumlah penerimaan pajaknya.
Hal ini berkaitan dengan tidak terpenuhinya prinsip minimum tax gap, di mana terjadi perbedaan antara realisasi pajak dengan jumlah pajak yang terutang yang diakibatkan tidak adanya regulasi hukum formal yang menjadi alat untuk melakukan enforcement terhadap Wajib Pajak.
Dengan potensi penerimaan yang cukup besar bagi pertumbuhan perekonomian daerah, kebijakan pendaerahan PBB-P2 ini harus diupdate secara berkala berdasarkan evaluasi dari implementasi kebijakan di daerah. Evaluasi atas kebijakan juga diperlukan sehingga dapat merangkul tidak hanya daerah yang dapat menjalankan pemungutan PBB-P2 secara mandiri, tetapi juga yang masih mengalami kendala hingga yang belum dapat mengaplikasikan kebijakan PBB-P2 di daerah tersebut.
Evaluasi ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah daerah sebagai pelaksana, tetapi juga oleh pemerintah pusat sebagai pengawas, di mana pemerintah pusat dapat dikategorikan daerah-daerah yang masih terkendala sesuai dengan levelnya masing-masing. Hal ini dapat membantu pemerintah pusat untuk langsung memberikan sosialisasi secara berkala dan menciptakan keseimbangan kemampuan antara daerah yang satu dengan yang lainnya, sehingga meminimalisir ketimpangan daerah dan penerimaan PBB-P2 menjadi maksimal sesuai dengan yang diharapkan.
Kesiapan Kebijakan Pendaerahan PBB-P2 yang sudah diimplementasikan sejak tahun 2014 ini masih belum memenuhi beberapa prinsip kebijakan pajak yang baik, yang tercermin pada kondisi di mana tidak semua pemerintah daerah memiliki kesiapan untuk menerapkan kebijakan pemungutan PBB-P2. Kendala-kendala yang dialami beberapa daerah dalam proses pemungutan PBB-P2 berdampak langsung terhadap tingkat penerimaan PBB-P2 di tiap daerah. Sebab, optimalnya penerimaan PBB-P2 di daerah bergantung kepada kondisi dan kemampuan masing-masing daerah dalam melakukan kewenangannya untuk memungut PBB-P2 tersebut.
Permasalahan utama yang ada dalam kebijakan pendaerahan pemungutan PBB-P2 ini berkaitan dengan kurangnya enforcement dari pemerintah daerah karena belum adanya payung hukum formal yang jelas dan memadai di beberapa daerah, serta menyangkut tentang transparansi dari aturan PBB-P2 itu sendiri. Sehingga, tidak semua daerah dapat mencapai target penerimaan PBB-P2 tersebut. Selain itu, belum adanya basis data yang memadai membuat pemerintah daerah tidak dapat melakukan penagihan piutang pajak secara optimal.
Referensi :
AICPA.org. (2017). Guiding Principles of Good Tax Policy: A Framework for Evaluating Tax Proposals. Tax Policy Concept, 1, 18. https://www.aicpa.org/advocacy/tax/downloadabledocuments/tax-policy -concept-statement-no-1-global.pdf
Ismail, T. (2013). Analisis dan Evaluasi tentang Pajak dan Retribusi Daerah. https://www.bphn.go.id/data/documents/ae_retribusi.pdf
Jannati, L. N., & Inayati. (2014). THE IMPLEMENTATION OF RURAL AND URBAN PROPERTY TAX LOCALIZATION IN PURWOREJO , CENTRAL JAVA Pendahuluan Seiring dengan era otonomi daerah saat ini , Pemerintah Pusat berusaha untuk mendorong daerah agar lebih mandiri dalam pembiayaannya . Pelaksanaan oton. 1–15.
Maulydia, S. (2016). Analisis Perbandingan Pajak Bumi dan Bangunan Sebelum dan Setelah Peralihan Menjadi Pajak Daerah di Kelurahan yang ada di Kota Pekanbaru. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ekonomi, 3(1), 15. https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFEKON/article/view/10546
Olivia, G. (2019). PBB daerah rendah, CITA: Banyak potensi penerimaan tidak terpotret. Kontan.
Pomerleau, Kyle. “A Property Tax Is a Wealth Tax, But….” Taxfoundation.Org, 2019.
Prastowo, Y. (2015). Kerangka Filosofis bagi Paradigma Baru Kebijakan Pajak. CITA, 7, 12..
Safarina, H. A. (2020). Pemungutan PBB-P2 di Kabupaten/Kota, Bagaimana Ketentuannya? DDTCNews.
Setiawan, D. A. (2020). Ada Persoalan Pajak PBB-P2 di Daerah, Ini Temuan BPK. DDTCNews.
Siahaan, A. L. S. (2015). Kajian Yuridis Terhadap Beralihnya Kewenangan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan dari Pemerintah Pusat Kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai [Universitas Sumatera Utara]. In Media.neliti.
Widodo, B. T. (2014). Pedoman Umum Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan. Kementerian Keuangan.
Wildan, Muhammad. “Piutang PBB-P2 DKI Bengkak Gara-Gara DJP, Kok Bisa?” DDTC News, 2020
World Bank, Time to ACT : Realizing Indonesia’s Urban Potential. 2019