Beberapa tahun terakhir, Mukbang, atau dapat diartikan sebagai “siaran makan” yang berasal dari Korea Selatan menjadi trending di berbagai platform media sosial. Konten ini biasanya berisikan pesta makan di depan kamera dengan jumlah makanan yang terlihat banyak. Mukbang sudah masuk dalam kultur populer media sosial yang entah bagaimana tetap dicari dan ditonton, bahkan sampai menuai banyak komentar dari berbagai kalangan.
Banyak tanggapan dari warganet yang melihat Mukbang sebagai bentuk konten ASMR (Autonomous Sensory Meridian Response) yang dapat menenangkan bagi penontonnya. Namun, tidak sedikit pula yang mengkritik Mukbang sebagai konten yang kurang enak dilihat. Mukbang memang tidak mengharuskan pembuat konten memiliki bakat. Maka dari itu, cukup banyak pembuat konten mukbang yang justru dapat melanggengkan budaya food waste.
Apa yang dimaksud dari Food Waste? Food waste dikategorikan sebagai makanan yang siap dikonsumsi, tetapi dibuang begitu saja, seperti dibuangnya makanan karena warna atau tampilan, makanan yang tidak dihabiskan sehingga akhirnya dibuang, serpih-serpih bahan ketika menyiapkan makanan, dan lain semacamnya.
Sayangnya, hal tersebut justru meningkat saat masa pandemi. Pandemi COVID-19 secara mendadak mengharuskan seluruh masyarakat untuk melakukan segala aktivitas dari rumah. Setidaknya di periode tahun 2020, hampir seluruh negara di dunia membatasi pergerakan warganya hingga lebih dari tiga bulan. Pada kurun waktu tersebut, terciptanya perubahan pola konsumsi masyarakat yang tidak seimbang, di mana ada masyarakat yang kelaparan dan ada pula yang kelebihan makanan hingga membuangnya, seperti yang dilakukan oleh beberapa pembuat konten Mukbang yang sekedar ingin mendapatkan banyak penonton.
Namun konsep mukbang itu sendiri bukan satu-satunya yang dirasa mempunyai implikasi besar terhadap peningkatan food waste. Memang konten Mukbang tersebut dirasa tidak merugikan diri sendiri dan malah menjadi pasar yang lebih banyak terutama selama pandemi berlangsung, di mana berhentinya segala kegiatan operasional dari tempat publik, baik dari sekolah, museum, acara konser, Mall, bioskop, dan lain sebagainya, sehingga membuat masyarakat jadi lebih mengandalkan gawai-nya untuk mencari dan memenuhi kebutuhan mereka di berbagai hal, termasuk acara hiburan, seperti konten Mukbang yang semakin marak di media sosial.
Akan tetapi, konten Mukbang yang disajikan dengan pola konsumsi makanan yang berlebihan sampai tidak habis dapat mempengaruhi penonton untuk melakukan hal yang serupa dan budaya populer ini dapat sangat bertolak belakang dengan kondisi pandemi COVID-19 yang mana banyak orang merasa kelaparan karena kekurangan bahan makanan.
kr-asia melansir, peneliti dari Institusi Ilmu Geografi dan Penelitian Sumber Daya Alam (Institute of Geographic Sciences and Natural Resources Research) Chen Sengkui menyatakan kekhawatirannya akan arah dari video-video Mukbang. Maksud dari Chen adalah video-video tersebut sangat bertolak belakang dengan ide membentuk kesadaran akan preservasi dan mengurangi limbah makanan di masyarakat.
Menurut saya, meskipun konten Mukbang sudah masuk ke dalam budaya populer dan memiliki cukup banyak pendukung, sudah semestinya melihat pentingnya ide-ide dasar dari makan sewajarnya, serta mensyukuri ketersediaan pangan. Manajemen limbah makanan yang semakin dikampanyekan oleh berbagai pihak pun mulai berhasil menumbuhkan kepekaan masyarakat tentang pentingnya preservasi lingkungan.
Namun, hal ini juga perlu didukung dari pencipta konten Mukbang untuk menyajikan isi konten yang lebih bertanggung jawab dengan kuantitas makanan yang sewajarnya, dan bahkan membantu sesama dengan sarana siaran makan tersebut. Untuk kelangsungan kehadiran konten Mukbang di masyarakat modern, akan lebih baik lagi jika pembuat konten Mukbang juga ikut mengkampanyekan kepada penontonnya guna membangun kesadaran masyarakat untuk menghargai makanan sehingga dapat meminimalisir terjadinya food waste.