Peradaban manusia tidak pernah lepas dari konflik. Perbedaan persepsi dan kepentingan yang saling bersinggungan merupakan elemen yang identik dengan sifat alamiah itu sendiri. Mengutip dari seorang filsuf zaman modern awal, yakni Thomas Hobbes, bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, atau dalam bahasa Latin yang beliau gunakan dalam literaturnya "homo homini lupus." Pandangan filosofis Hobbes tersebut relevan tidak terlekang oleh waktu, dan faktanya dominasi dan pertentangan antara individu masih membekas hingga zaman modern, yang membawa semangat perdamaian dan kemanusiaan ini.
Terlebih, konflik di era kontemporer semakin kompleks. Namun, yang ada sisi yang paling sederhana dari konflik peperangan ialah membawa petaka, kematian, dan segala wujud kehancuran peradaban bagi kedua pihak yang terlibat. Sebut saja konflik yang terjadi dewasa ini dari seluruh penjuru dunia, seperti invasi Rusia atas Ukraina, dan pendudukan Israel terhadap penduduk sipil Palestina. Ingat, kata kunci yang menjadi inti dari sajian tulisan ini adalah "rakyat sipil," yakni mereka yang terdampak paling besar akan terjadinya perang.
Falsafah bangsa Indonesia yang cinta damai
Meskipun republik kita berdiri diwarnai dengan konflik dan pertumpahan darah yang terjadi, baik sebelum hingga masa setelah diproklamasikannya kemerdekaan bangsa Indonesia, kedamaian merupakan cita-cita bangsa Indonesia. Terutama, falsafah bangsa Indonesia bercita-cita menghapuskan penjajahan di atas dunia dan mengupayakan perdamaian abadi. Semua unsur tersebut tertuang dalam konstitusi Republik Indonesia.
Perang sejatinya merupakan sebuah jalan yang pahit untuk menyelesaikan konflik. Perdamaian dan kemanusiaan yang selama ini kita perjuangkan akan sirna dengan peperangan dan pertumpahan darah. Ingat, bahwa baik yang menembakkan peluru dan yang ada di ujung senapan sama-sama manusia. Sehingga, merenggut nyawa bukan sebuah perkara yang mudah dan tentu membekas dalam sisi kemanusiaan kita. Maka, bangsa Indonesia sejatinya adalah bangsa yang cinta damai, karena perang mengusik kemanusiaan kita ketika harus merenggut nyawa seseorang.
Kehadiran falsafah bangsa Indonesia dalam menyikapi konflik dunia
Falsafah politik dunia yang kita bawa adalah bebas dan aktif, yang berasaskan cita-cita perdamaian dunia. Maka, kehadiran bangsa Indonesia di dunia adalah membawa seruan perdamaian dan mencegah peperangan dalam penyelesaian konflik bilateral. Bebas dan aktif tercermin dari upaya bangsa Indonesia dalam menjadi pembawa kedamaian, tentu diwujudkan dalam pernyataan resmi dan upaya mediasi antara dua belah pihak yang berkonflik untuk menghindari pertumpahan darah.
Perang membawa isu kemanusiaan
Sifat alamiah perang adalah membawa cidera, bahkan kematian bagi pihak-pihak yang terlibat. Tidak ada perang tanpa pertumpahan darah, dan sayangnya mereka yang tidak berdaya menjadi korban yang terberat bagi ancaman perang. Mereka yang tidak berdaya adalah para masyarakat sipil yang tidak mengangkat senjata yang tiap waktu dihantui oleh bahaya yang mengintai mereka. Ledakan bom yang membabi buta dan desing peluru tak bertuan menjadi momok bagi mereka.
Perang mengancam penghidupan masyarakat sipil. Mereka akan kehilangan tempat tinggal akibat diporak-porandakan oleh peperangan yang berkecamuk, dan kegiatan sehari-hari mereka akan terganggu karena terancam terkena serangan yang membabi-buta. Sehingga, kerap kali jika terjadi perang, maka pengungsi kian bermunculan dan mencari tanah baru yang aman untuk mereka tinggali. Namun, menjadi pengungsi bukan merupakan perkara yang mudah karena harus mengandalkan pihak-pihak negara lain untuk menerima mereka dan memberikan kehidupan yang layak.
Lantas, siapa yang harus dibela?
Tidak ada gunanya membela mereka yang mengangkat senjata, karena keberpihakan tidak ada dalam falsafah politik bangsa Indonesia. Maka, tanpa membela negara manapun, kita harus berpihak pada mereka yang terdampak perang yakni mereka yang tidak berdaya dan terlunta-lunta. Yakni, sekali lagi, rakyat sipil yang tidak memiliki kekuatan untuk melawan.
Banyak yang dapat kita lakukan dalam memberikan keberpihakan kita kepada mereka atas asas kemanusiaan. Memberikan simpati terhadap mereka yang terdampak adalah awal yang tepat. Akan lebih baik lagi jika kita memberikan bantuan kemanusiaan seperti tempat tinggal hingga kebutuhan vital seperti pangan dan fasilitas kesehatan. Namun, yang terpenting, jika kita berpihak kepada kemanusiaan, kita akan membela mereka yang terdampak paling berat dalam konflik-konflik yang terjadi.
Referensi
- Dahlan Nasution. 1984. Perang atau damai dalam wawasan politik internasional
- Kemendikbud. Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menjalin Hubungan Internasional
- Nugroho Wishnumurti. 1998. Politik Luar Negeri Indonesia bagi Terciptanya Perdamaian dan Keamanan Dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa