Membentak Anak Demi Kebaikan, Bolehkah?

Hernawan | Mutami Matul Istiqomah
Membentak Anak Demi Kebaikan, Bolehkah?
Ilustrasi orang tua marah kepada anaknya (Pexels/August de Richelieu)

Membentak merupakan salah satu bentuk meluapkan emosi. Membentak anak sama sekali bukanlah hal yang diperbolehkan, sekalipun menyangkalnya dengan alasan demi kebaikan. 

Membentak anak akan memberikan dampak yang buruk dan bisa membekas seumur hidup. Ketika orang tua membentak anak, anak akan merasa sakit hati. Sakit hati ini bisa membuat anak merasa berjarak dari orang tua dan merasa bahwa orang tua tidak berada di pihaknya. Ketika hal itu terjadi, maka anak akan kehilangan sosok orang tua sebagai perlindungan dan tempat ia lari ketika takut dan terbebani. 

Bentakan orang tua akan membuat anak menjadi seorang yang peragu. Ketika ia ingin mencoba berbagai hal baru, ia akan merasa was-was orang tuanya marah dan membentaknya.  Ia akan tumbuh dengan dipenuhi rasa takut kepada orang tuanya. 

Lalu, apa yang harus dilakukan ketika anak sulit untuk dikendalikan, melakukan beragam hal yang salah dan menyulut emosi, bersikap tidak baik kepada teman-temannya, menjadi seorang yang pemalas, dan lain sebagainya? 

Saya harus menarik nafas panjang ketika menulis ini karena saya tidak ingin membumbui tulisan ini dengan emosi. Sejujurnya, saya menulis ini karena membaca anggapan seseorang yang menjelaskan bahwa membentak anak merupakan hal yang sah-sah saja. Tidak tahu kenapa, dada saya terasa sesak. Saya sebagai seorang ibu dan orang tua merasa prihatin dengan opini tersebut. Karena saya yakin bahwa membentak anak bukanlah penyelesaian dari suatu masalah.

Apa yang dilakukan seorang anak adalah cerminan dari orang tuanya, bergantung dari bagaimana orang tua mendidiknya. Maka dari itu, kita mulai pembahasan ini dari kesiapan pernikahan, kesiapan menjadi sepasang orang tua.

Siapkah kita menjadi orang tua?

Menikah tidak sekadar membutuhkan kesiapan secara finansial, tapi juga harus dilandasi dengan kesiapan secara mental. Tidak sekadar harus mempersiapkan resepsi, tapi kita juga harus memahami bagaimana ilmu membina rumah tangga yang baik. Kenapa? Karena kita, seorang wanita dan pria yang menikah, akan menjadi madrasah bagi anak-anak, akan menjadi sepasang orang tua yang menentukan bagaimana seorang anak akan terbentuk kepribadiannya.

Seringkali kita mengeluh "Anak saya bandel banget, anak saya susah diatur, anak saya nakal, anak saya pemalas, dan lain sebagainya" lalu terus membuat asumsi dan perkataan kasar yang  menyalahkan dan menyudutkan anak, mmbentaknya dengan alasan demi kebaikan agar anak menjadi penurut. Apakah itu solusi yang bijaksana?

Coba sesekali, kita bercermin dengan diri sendiri. Apa yang salah dalam tata cara kita mendidik anak? Apa yang kurang dalam pendidikannya? Bagaimana lingkungan tempat anak bergaul dan bersosial? Kita terlalu sibuk menyalahkan anak, sampai melupakan bahwa anak terbentuk menjadi seperti apa adalah tergantung dari bagaimana kita orang tuanya. Maka dari itu membentak anak bukan solusi yang tepat. Bahkan hanya akan menimbulkan masalah baru dan luka batin kepada anak yang bisa menyakitinya seumur hidup. 

Ketika orang tua membentak anak dengan alasan demi kebaikan, sepertinya orang tua tersebut belum merasa siap secara mental untuk menjadi orang tua. 

Membentak anak karena anak susah diatur? Merusak seluruh isi rumah?

Adalah hal yang wajar ketika anak mengalami fase dimana dia akan menjadi seorang yang aktif sekali. Bahkan dia bisa menghancurkan seisi rumah jika tidak dalam pendampingan orang tua. Masa itu, adalah masa dimana anak memiliki keingintahuan yang sangat besar dengan segala sesuatu yang berada di sekitarnya disertai dengan energi yang besar karena dia sedang berada pada masa pertumbuhan. Biasanya hal ini akan terjadi ketika anak berusia kurang dari 5 tahun. 

Orang tua mungkin akan sering kehilangan perabot rumah karena rusak, barang-barang yang pecah, dan isi rumah yang jauh dari kata rapih dan sempurna. Namun, apakah kita harus marah dan membentak anak? Tentu saja tidak. Kita justru harus membantu anak untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Misalnya dengan mengajaknya aktif beraktivitas sehingga dia bisa menyalurkan tenaga dan energinya. Kita harus menata kembali ruangan agar yang berada di sekeliling anak adalah perabotan yang aman. Kita harus menyiapkan beberapa replika perabot kaca dengan bentuk plastik agar anak tetap bisa belajar dan menggunakannya. 

Membentak anak karena dia nakal kepada temannya? 

Cara anak bersosial tergantung dari bagaimana cara orang tua bersikap kepada anak dan mengajarkannya etika yang baik. Sejak kapan anak mempelajari ini, adalah sejak ia lahir. Ia akan memperhatikan bagaimana lingkungan sekitarnya memperlakukannya. Bagaimana sikap dari kedua orang tuanya. Bagaimana orang tua menghadapinya ketika menangis, bersedih, terluka, marah maupun kecewa, menjadi modal untuk anak berlaku hal yang sama kepada orang lain. 

Anak yang memukul temannya ketika berebut sesuatu, mungkin saja karena dia melihat orang tuanya saling memukul ketika sedang marah. Anak akan menganggap bahwa ketika ia marah, maka memukul merupakan hal yang diperbolehkan. 

Anak berani berkata keras kepada temannya, mungkin juga disebabkan karena orang tuanya yang selalu berteriak ketika marah. Termasuk ketika ia berbuat salah, dan orang tuanya marah dengan cara berteriak. Sehingga ketika dia marah kepada temannya, dia akan berani untuk berkata keras dan lantang. 

Anak yang pemalas dan tidak mau belajar? Tidak berprestasi di sekolah?

Membentak anak agar mau belajar, tidak akan menjadikan anak berprestasi di sekolah. Mempelajari sesuatu membutuhkan hati yang lapang, pikiran yang fokus dan rasa ketertarikan. 

Anak yang malas belajar, lalu dibentak mungkin saja dia mau belajar saat itu, tapi apa yang dia pelajari tidak akan bisa tertanam dengan baik. Bahkan dia akan menganggap belajar sebagai beban, bukan kebutuhan. 

Sebuah asumsi yang sangat keliru bagi orang tua yang ingin anaknya belajar, lalu melakukannya dengan membentaknya. 

Untuk membuat anak yang malas belajar, kita harus mencaritahu terlebih dahulu mengenai penyebab anak malas belajar. Apakah anak malas belajar karena teman-temannya juga tidak ada yang belajar? Karena sibuk bermain? Sibuk menggunakan gawai? Atau yang lainnya. 

Ketika anak malas belajar karena teman-temannya tidak ada yang belajar, kita bisa menyarankan mereka untuk belajar kelompok. Ketika anak malas belajar karena lebih senang bermain, maka kita harus tegas memberikan pembagian waktu bagi anak belajar dan bermain. 

Kalau anak malas belajar karena sibuk dengan gawainya, maka salahkan diri kita sendiri yang memperkenalkan gawai kepada anak dan tidak memberikan aturan dan batasan dalam penggunaannya. 

Membentak, bukan solusi agar anak menjadi berprestasi. Kalau ingin anak berprestasi, kita harus fokus kepada alasan anak tidak mau belajar dan bagaimana solusi atau langkah yang harus diambil. 

Ketika anak mulai masuk di bangku sekolah, orang tua akan sibuk dengan bagaimana cara anak menjadi peringkat satu di sekolah, agar anak bisa mendapatkan nilai 100 dan unggul secara akademik. Hal itu juga merupakan tujuan yang keliru. 

Orang tua harus memahami bahwa tujuan anak bersekolah adalah untuk menimba ilmu. Jadi, mereka hanya harus fokus dengan apa yang diajarkan dan menelaahnya dengan matang. Perkara peringkat satu dan nilai seratus, setiap anak tidak bisa disamakan. Karena masing-masing dari mereka memiliki kelebihan masing-masing.  

Orang tua harus lebih peduli kepada anak dan memahami apa yang menjadi ketertarikan anak dan bakat yang ada dalam diri anak. Dengan mengetahui bakat anak, orang tua akan lebih mampu mengarahkan kemana anak harus mengasah kemampuannya.

Bolehkah orang tua membentak anak demi kebaikan?

Membentak anak tidak menimbulkan sebuah kebaikan. Membentak anak hanyalah sebuah luapan emosi orang tua yang tidak siap secara mental untuk menjadi orang tua. Maka dari itu, membentak anak bukanlah solusi yang bijak dan harus kita hindari. 

Kalau bukan dengan membentak, dengan cara apa kita bisa membuat anak menurut dan sesuai dengan harapan kita sebagai orang tua?

1. Tegas

Sebagai orang tua, kita harus tegas. Namun tegas berbeda dengan membentak. Cara kita menjadi orang tua yang tegas adalah mengenalkan kepada anak tentang segala hal yang boleh dan tidak boleh. 

Cara membuat anak memahami hal yang boleh dan tidak boleh, tidak cukup jika sekadar mengatakan "Ini tidak boleh, ini boleh", tapi kita harus menjelaskan hubungan antara sebab dan akibat dari hal yang dia lakukan. Misalnya "Adek jangan sentuh ini ya, kalau pecah ini bisa bikin tangan Adek luka". Sehingga anak akan memahami bahwa segala hal yang dia lakukan, ada dampak atau konsekuensi yang dia dapatkan.

2. Disiplin 

Selain tegas, kita juga harus membiasakan anak untuk disiplin. Disiplin bisa dimulai sedini mungkin. Anak harus dibiasakan waktu mandi, makan dan belajar. Seiring waktu anak harus membiasakan waktu mandi, makan, belajar, bermain dan tidur. Begitu pula seterusnya. 

Sehingga tidak akan ada alasan membentak anak karena anak tidak mau belajar, maunya bermain. Karena jika hal itu terjadi, maka kesalahan orang tua yang tidak menanamkan kedisiplinan kepada anak bahkan dari hal- hal yang sederhana dan kecil sekalipun. 

3. Menjadi sahabatnya

Menjadi sahabat untuk anak adalah pondasi utama agar orang tua lebih mengenal dan mudah untuk mengarahkan anak. Sayangnya, bentakan bisa merusak hubungan itu. 

Dengan bersahabat dengan anak, anak tidak akan segan menceritakan berbagai hal yang dia rasakan kepada orang tua. Hal tersebut sangat memudahkan kita dalam mengontrol anak. 

Apa yang harus kita lakukan ketika terlanjur membentak anak? 

Kita tidak akan bisa memperbaiki luka batin yang anak rasakan karena bentakan kita. Namun setidaknya, kita bisa meminta maaf kepada anak dan berjanji kepada diri sendiri untuk tidak mengulanginya lagi. 

Kesimpulan

Membentak anak tidak diperbolehkan dengan alasan apapun. Sebelum menikah, kita harus mempersiapkan banyak hal. Fisik, ilmu, finansial dan mental, singga kita tidak melakukan hal yang salah kaprah dalam mendidik anak. 

Sebelum menyalahkan anak, pahami tentang sebab anak melakukan itu. Dan apa yang sudah kita ajarkan sebagai orang tua.

Selain itu, kita harus lebih peduli kepada kesehatan mental seorang anak dan jangan menyepelekan keberadaannya dengan kalimat "hanya anak-anak" , melakukan hal sederhana yang bahkan bisa membuat luka batinnya terluka. Yuk, jadi orang tua yang mau belajar, berbenah diri, dan mau membuka mata menjadi orang tua yang lebih bijaksana. Semoga tulisan ini bermanfaat!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak