Perubahan radikal model bisnis dan kepemimpinan di era disrupsi-inovatif menuntut perubahan mendasar model pendidikan (Haryatmoko, Jalan baru kepemimpinan dan kependidikan). Perubahan demi perubahan, tiba-tiba dan mendadak begitu terasa ketika pandemi Covid-19 tiba-tiba hadir begitu cepat. Kelas formal dengan pertemuan rutin kemudian merumah agar kelas menjadi inovatif. Dua tahun sudah pandemi menjebak dan meninabobokan model pendidikan ruang kelas.
Sistem yang tidak pernah terencana, kurikulum yang tiba-tiba harus menyesuaikan dan guru yang tiba-tiba harus belajar banyak hal, harus berubah seiring perubahan teknologi yang semakin cepat.
Ini hal yang sebenarnya baru permulaan dalam formulasi pendidikan kita. Apakah kita akan mempertahankan kelas yang terbatas pada sekat-sekat tembok atau tetap menjadikan murid sebatas monitor 14 inchi?
Hampir dua tahun begitu dekatnya mengaitkan anak didik dan orang tua di rumah. Sejauh itu, memang belum terbukti apakah orang tua mengambil peran sesungguhnya sebagai pendidik; atau jangan-jangan harus disadari pada akhirnya orang tua adalah guru yang sebenarnya. Lantas, apakah model persekolahan dapat dipertahankan?
Pertemuan di kelas, dengan kurikulum dan RPP yang beratus-ratus halaman, menjelaskan materi dan ulangan, sementara orang tua menikmati akhir perjuangan siswa dengan dua ekspresi; bangga jika anaknya rangking atas, dan malu jika anaknya di urutan bontot.
Sebuah proses belajar bisa saja dimulai dengan kegundahan, ketidakmampuan dan juga kemalesan. Apalagi dikaitkan dengan sesuatu yang baru, yang sangat jauh berbagai pengalaman yang diperoleh selama ini. Begitupun dengan menjadi guru. Untuk menjadi guru, tidak cukup dengan mampu mengajar siswa, tetapi harus mampu juga belajar. Belajar yang tidak terbatas pada apa yang akan diberikan kepada siswa, namun belajar segala hal yang mungkin tidak mendukung proses mengajar itu sendiri.
Guru selalu dituntut untuk tahu; bahkan sampai hal keuangan, marketing, sumber daya manusia, namun juga etika. Setiap saat guru harus sanggup masuk ke hutan belantara dengan berbagai macam permasalahan yang tidak terduga. Apalagi dengan tugas-tugas yang bertumpuk-tumpuk, dan menyita waktu.
Yang selalu menjadi diskusi menarik adalah bagaimana siswa untuk bisa diajak memahami keterkaitan setiap peristiwa aktual menjadi sebuah materi pembelajaran yang sesungguhnya. Melibatkan setiap siswa dalam setiap permasalahan harus menjadi bagian pembelajaran setiap mata pelajaran.
Namun, apakah setiap guru sanggup untuk tertantang masuk dalam hutan belantara seperti ini. Sementara siswa tidak dapat dilepaskan dari perilaku instan, bukan hanya di rumah, namun juga di dalam kelas. Bagaimana kita selalu melihat begitu banyaknya peserta didik terikat begitu erat dengan smartphone. Sebuah tantangan,
Bahwa sekolah harus berubah adalah sebuah keharusan. Sekolah menghidupi perubahan agar tidak terbatas pada sekat-sekat ruang kelas. Yang harus dipastikan, sebenarnya sekarang kita sedang menikmati ruang pendidikan yang begitu luas dan tidak terbatas. Akankah guru tetap terhimpit di antara dinding-dinding kelas?Salam perubahan,