Politik Identitas, Politik Pecah Belah

Hernawan | Fathin Robbani Sukmana
Politik Identitas, Politik Pecah Belah
Ilustrasi Pemilu - daftar parpol gagal yang jadi peserta pemilu 2024. (Pixabay/mohamed_hassan)

Akhir-akhir perbincangan di warung kopi tentang politik semakin ramai. Wajar saja, menjelang lengsernya Anies dari Gubernur DKI serta pencalonan dirinya sebagai Bakal Calon Presiden 2024 dari partai Nasdem membuat suhu politik sedikit memanas.

Perbincangan politik menjelang Pemilu Serentak 2024 semakin menjadi tema utama. Tak terkecuali saat beberapa waktu lalu Rocky Gerung bertemu serta berbincang dengan Luhut Binsar Panjaitan dalam program RGTV di Youtube.

Pertemuan “tom vs Jerry” di podcast tersebut bagai perdamaian perang politik yang selama ini muncul di layar kaca dan juga media sosial. Dalam perbincangan yang hangat, ini bisa menjadi contoh bahwa politik tidak selamanya bermusuhan.

Tapi, ternyata pertemuan tersebut sedikit blunder. Luhut Binsar Pandjaitan sempat melontarkan pernyataan jika bukan orang Jawa, maka sulit bahkan mustahil untuk menjadi Presiden, makanya ia sadar diri sehingga tidak akan mencalonkan sebagai Presiden.

Pernyataan LBP sontak viral di Media Sosial. Banyak potongan video yang menampilkan pernyataan tersebut saja. Jelas ini merupakan dugaan politik identitas yang menyinggung Ras, Agama, Suku, Etnis tertentu.

Wajar saja, banyak penggiat demokrasi yang melakukan kritik dengan keras atas pernyataan tersebut. Karena politik Identitas akan berdampak panjang. Salah satunya akan terjadi perpecahan dan Pecah Belah.

Pejabat Perlu Hindari Politik Identitas

Selain pernyataan LBP yang viral karena diduga berkaitan dengan politik identitas, sebetulnya ada banyak pejabat publik justru dengan sengaja menggunakan politik identitas. Tentu saya kira di antara kita mengingat hal tersebut.

Contohnya adalah pejabat publik yang dalam kehidupan sehari-hari tidak memakai peci, tapi ketika kampanye dan turun ke lapangan tiba-tiba memakai peci. Atau bisa juga jika pejabat perempuan yang biasa tidak memakai kerudung, tiba-tiba memakai kerudung ketika kampanye.

Memang sih bisa saja mereka sudah bertaubat atau menyesuaikan tempat sehingga menyesuaikan pakaian. Hanya saja terkadang pakai ‘pelengkap’ saja tidak benar, bagaimana kita mau menganggap bahwa mereka menyesuaikan diri atau bertaubat? Kalau pakai peci atau kerudung saja tidak sesuai.

Ah sudahlah, menjelang Pemilu 2024 ini banyak sekali pencitraan yang tidak perlu dilakukan seperti politik identitas ini. Seharusnya pejabat menjelang pesta demokrasi lima tahunan ini harus berhati-hati dalam mengungkapkan atau melakukan suatu hal.

Tapi apakah bisa? Budaya kita kan pencitraan dengan menganggungkan identitas yang berbau menyengat sehingga menjadi perhatian? Bukan budaya prestasi dan kerja nyata. Baiklah siapa yang salah kalau sudah seperti ini?

Saya yakin, sebetulnya mereka paham seperti apa politik identitas, tapi lagi-lagi justru politik identitas sangat laku apalagi pasca Pilkada 2017. Pejabat berusaha mengikuti keinginan pasar yang tersebar di masyarakat. Iya, yang dikit-dikit lo bukan golongan gue.

Kalau tidak percaya, cek saja keinginan pasar masyarakat kita di media sosial, yang ramai ialah konten-konten yang menyundul identitas seseorang, identitas seorang politisi atau bakal calon anggota legislatif maupun eksekutif.

Dan memang dalam hal ini pejabat lah yang harus paham dan mengerti bahwa penting sekali mencegah dan mengurangi pencitraan politik identitas karena akan berdampak menjadi politik pecah belah.

Politik, Dangdut dan Sepak Bola

“Memang benar, apa yang di sekitar kita bersinggungan dengan politik?”

Sering sekali kita mendengar pernyataan tersebut, bahkan politik sebagai alat dalam menggerakkan berbagai bidang sering terlupakan bahkan dianggap kotor. Kopi yang kita minum, beririsan dengan politik. Gorengan yang kita makan bagian dari politik, bahkan kotoran yang kita buang termasuk persoalan politik.

Misalnya, urusan kopi bersinggungan dengan pajak, pengiriman biji kopi, harga BBM pengiriman merupakan bagian dari kebijakan pemerintah yang berawal dari politik. Gorengan juga demikian, tempa krenyes yang kita makan, terigu, tempe, kedelai bahan tempe, butuh pengiriman, harga pupuk yang bersinggungan dengan dunia politik. Termasuk kotoran yang kita buang kadang ke sungai atau suatu tempat merupakan regulasi politik juga.

Tetapi mengapa banyak masyarakat yang memiliki pola pikir bahwa politik itu kotor? Memang dunia pabrik, kerja kantoran, bisnis hingga keagamaan tidak kotor? Apa karena belum mencoba kegiatan yang berbau politik?

Mungkin, mereka melihat apa yang banyak ditampilkan tentang persoalan politik selalu tentang hal kotor, seperti korupsi, saling sikut, ribut-ribut hingga perebutan kekuasaan hingga membuat pecah belah. Padahal banyak sisi politik lain yang positif.

Saya pernah mendengar, perkataan bahwa semua tempat pasti ada sisi kotor, namun kita harus bisa menempatkan diri kita untuk tidak tergerus arus dan menjaga ritme untuk tidak tercebur ke dalam hal kotor tersebut.

Ya contohnya dalam dunia musik dangdut. Kalau konser langsung sebetulnya ada saja keributan kecil. Namun ketika musik berdendang saya yakin pasti semua bergoyang. Musik khas Indonesia tersebut berhasil membuat semua suku, agama, RAS bisa membuat lupa persoalan politik dan larut dalam goyangan, apalagi jika penyanyi dangdut pendatang baru yang sedang viral.

Dunia politik juga bisa belajar dari Sepak Bola, jika Tim Nasional Indonesia sedang bermain di kancah internasional. Semua masyarakat melupakan persoalan batasan yang berkaitan dengan politik. Semua mendukung satu, Indonesia.

Momen dukungan terhadap timnas serta mendengarkan konser dangdut cukup membuat masyarakat kompak mencintai Indonesia. Namun apakah makna persatuan hanya sebatas 90 menit atau sampai dangdut selesai?

Dunia politik yang bersinggungan dengan berbagai sektor kehidupan harus belajar dari mendukung sepak bola dan juga dangdut. Menang kalah untuk Indonesia, menikmati irama untuk Indonesia. Dan tentu caranya dengan mengurangi politik identitas yang memecah belah.

Se-andainya, Pemilu 2024, kita mendukung semua pasangan calon ibarat menonton bola, lalu jika kalah bersikap kesatria, pasti Politik di Indonesia akan menjadi irama seperti dangdut yang membuat bahagia.

Fathin Robbani Sukmana, Peneliti SEKNAS LS VINUS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak