Pelecehan seksual merupakan kejahatan mengerikan dan melanggar hak asasi manusia. Namun, ironisnya, korban sering kali menghadapi masalah baru setelah mengalami kejadian traumatik tersebut, yaitu victim blaming atau menyalahkan korban.
Adapun victim blaming dimaknai sebagai perilaku yang mencoba memindahkan tanggung jawab atas pelecehan seksual dari pelaku kepada korban. Fenomena ini tidak hanya merugikan korban, tetapi juga melumpuhkan upaya untuk memberikan keadilan dan mengatasi masalah pelecehan seksual. Untuk memahami penyebab di balik victim blaming, kita perlu menggali beberapa faktor yang mempengaruhinya.
BACA JUGA: Remaja Bunuh Diri karena Masalah Kesehatan Mental, Salah Siapa?
Stereotip gender
Salah satu penyebab terjadinya victim blamming adalah stereotip gender yang begitu mengakar dalam masyarakat. Budaya dan sistem patriarki yang ternyata masih melekat di berbagai lapisan kehidupan masyarakat menempatkan perempuan sebagai objek dan pelaku seksual sebagai subjek.
Dalam pandangan yang keliru ini, perempuan sering kali dianggap "meminta" dan "pantas" dilecehkan hanya karena penampilan atau perilaku mereka. Stereotip ini membingkai pemahaman yang keliru bahwa perempuan seharusnya bertanggung jawab atas tindakan pelaku. Akhirnya, korban menjadi sasaran serangan dan mengalami victim blaming.
BACA JUGA: Pertumbuhan Hijau dan Berkelanjutan untuk Mewujudkan Pembangunan
Pemahaman yang keliru
Selain itu, kurangnya pemahaman tentang anti pelecehan seksual juga menjadi faktor yang kerap diabaikan. Korban pelecehan ditempatkan pada posisi yang kerap menjadi sasaran kesalahan. Sudah terlalu banyak korban pelecehan seksual yang dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang justru melecehkannya, seperti, "Apakah kamu benar-benar menolaknya?" atau "Kenapa kamu tidak melawan?"
Media juga memiliki peran memperparah victim blaming. Terlalu sering, media menyoroti kisah-kisah pelecehan seksual dengan mengekspos detail pribadi korban, mencurigai kesaksian mereka, atau bahkan menyalahkan mereka. Melalui sensasionalisme dan penekanan pada kesalahan korban, media tidak hanya memperburuk penderitaan korban, tetapi juga menciptakan iklim yang mendukung victim blaming.
Dalam situasi seperti di atas, korban pelecehan seksual sering kali tergoda untuk menutupi atau menyembunyikan pengalaman mereka karena takut akan tanggapan masyarakat yang menyalahkan. Pendek kata, korban bungkam.
BACA JUGA: Menggali Kekayaan Budaya Melalui Interaksi Utara-Selatan
Tanggung Jawab bersama
Terakhir, perlu disadari bahwa victim blaming tidak hanya dilakukan oleh masyarakat umum, tetapi juga oleh sistem hukum dan lembaga yang seharusnya melindungi korban. Korban acap kali harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang justru mengekspos privasi korban selama menuntut keadilan, bahkan terkadang terjadi di pengadilan, sementara pelaku pelecehan bisa dengan mudah menghindari pertanggungjawaban.
Stereotip gender, kurangnya pemahaman, media, dan implementasi sistem hukum yang belum tegak, berkontribusi pada fenomena ini. Namun, dengan pendekatan yang holistik dan upaya yang berkelanjutan, kita dapat mengatasi victim blaming dan memberikan pelindungan serta keadilan bagi korban pelecehan seksual. Hanya dengan mengubah persepsi dan sikap kita sebagai masyarakat, kita dapat menciptakan lingkungan yang aman dan menghormati hak-hak setiap individu.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS