Kasus seorang siswa SMP di Temanggung tega membakar sekolahnya sendiri menjadi bahasan menarik hingga hari ini. Apalagi dari apa yang disampaikan R, sang pelaku mengejutkan semua pihak. Tindakan itu dilakukan dengan sadar disebabkan oleh bullying.
Pengakuan pelaku bahwa dia sering menjadi korban bullying menjadi kisah ini semakin menarik. Apalagi disampaikan pula bahwa pihak yang mem-bully tidak hanya sesama teman saja, namun juga guru.
Keprihatinan inilah yang muncul di masyarakat. Satu pihak memihak pada pelaku, tidak mungkin akan melakukan tindakan senekat itu, jika masalah yang dihadapi hanya sepele. Diduga hal itu merupakan akumulasi kekecewaan.
Di pihak lain, menyayangkan sikap pelaku. Seharusnya jika ada masalah, dapat dibicarakan dengan pihak-pihak terkait. Baik dengan sesama teman atau guru. Apa yang menjadi kekecewaan itu dapat disampaikan agar muncul titik terang.
Namun bagaimanapun juga, semua sudah terjadi. Sekolah tersebut sudah terbakar. Sementara sang pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan aparat penegak hukum.
Bullying dari Guru Seharusnya Tidak Terjadi
Pengakuan pelaku pembakaran bahwa dia menjadi korban bullying oleh guru, menjadi salah satu hal yang patut dicermati. Secara normatif, tidak mungkin seorang guru melakukan tindakan itu pada siswanya.
Bagi guru sendiri, siswa tidak ubahnya anak sendiri yang ada dalam tanggung jawab kepengasuhannya. Maka, tugas mendidik menjadi hal utama yang harus dilakukan. Sampai di sini, apa yang dituduhkan pelaku mungkin tidak terbukti.
Namun ketika permasalahan bergeser pada situasi pembelajaran, mungkin saja hal itu terjadi. Perbedaan persepsi antara guru dan siswa, membuat sebuah tindakan yang dilakukan guru akan ditanggapi berbeda.
Dalam dunia pendidikan ada dua cara untuk memotivasi siswa. Dua cara itu adalah berbentuk reward dan punishment. Dua hal ini merupakan bentuk apresiasi guru terhadap apa yang telah dilakukan siswa.
Penjelasannya adalah saat siswa melakukan hal yang dianggap sesuai dengan penilaian guru, maka dia akan mendapatkan reward. Apa yang diterima bisa berupa hadiah, pujian, atau kalimat-kalimat penyemangat.
Di sisi lain, punishment disamakan dengan hukuman. Langkah ini diambil saat seorang siswa melakukan pelanggaran. Bentuk hukuman yang diberikan harus hukuman yang edukatif.
Nah, di sinilah mungkin permasalahan yang muncul. Bentuk punishment, baik dalam kata-kata atau perbuatan membekas pada diri siswa. Tidak dapat dipungkiri mungkin saja apa yang bagi guru dianggap biasa, ditanggapi lain oleh siswa. Apalagi jika ucapan atau perbuatan itu diulang-ulang.
Padahal, bagi guru sendiri hal itu dianggap sebagai bagian dari proses pendidikan. Ironisnya, tindakan semacam itu berkali-kali dilakukan pada salah satu atau beberapa siswa dalam kategori bandel.
Mungkin kejengkelan yang dirasakan oleh guru sehingga sering melakukan hal itu pada siswa tersebut. Upaya guru untuk membenahi perilaku yang ada ternyata tidak mendapat respons baik dari siswa.
Akumulasi dari semua ini, akhirnya mengendap dalam benak siswa tersebut. Berawal merasa tidak senang pada guru tersebut, berlanjut selalu membuat ulah tidak menyenangkan terhadap guru tersebut, dan pada puncaknya pada perilaku yang tidak semestinya dilakukan.
Mungkin hal-hal seperti tersebut di atas yang membuat siswa di Temanggung itu melakukan tindakan senekat itu.